Rabu, 04 September 2019

KEBIJAKAN PENDIDIKAN DI KAWASAN ASEAN


KEBIJAKAN PENDIDIKAN DI KAWASAN ASEAN
(Problematika, Kedudukan, dan Fungsi Kerjasama Pendidikan di Kawasan ASEAN bagi Indonesia)

Dehfi Yuhwaningsih
Kholifatul Khoiria

Jurusan Administrasi Pendidikan Fakultas Ilmu Pendidikan
Universitas Negeri Malang, Jalan Semarang No. 05 Kota Malang 65145
Email: zensamramry@gmail.com, rhiakholifa98@gmail.com


Abstrak: Tujuan penelitian ini yaitu untuk mengetahui kebijakan pendidikan di kawasan ASEAN. Penelitian ini menggunakan metode literatur. Pengumpulan data diperoleh dari study literatur dari beberapa referensi yang didapat sebagai dasar penyusunan artikel. Hasil penelitian menunjukkan: (1) perkembangan pendidikan negara kawasan ASEAN; (2) problematika kebijakan pendidikan yang ada di kawasan ASEAN; (3) gambaran kebijakan pendidikan di negara kawasan ASEAN; (4) kedudukan dan kondisi pendidikan indonesia di kancah ASEAN; (5) fungsi kerjasama ASEAN di bidang pendidikan (SEAMEO) dan dampak yang dirasakan bagi negara Indonesia.
Kata Kunci: kebijakan pendidikan, kerjasama, ASEAN

Kebijakan pendidikan pada tiap-tiap negara tentunya berbeda-beda, hal ini di sesuaikan dengan nilai-nilai masyarakat maupun budaya atau bahkan kebiasaan pada negara tersebut sebagai salah satu bentuk dari pada ciri khas yang ditonjolkan pada masing-masing negara.  Hal ini juga sesuai dengan definisi dari pada analisis kebijakan. Menurut Fattah (2013:11) menyatakan bahwa “para ahli dalam membuat rumusan analisis kebijakan pendidikan berbeda-beda sesuai dengan sudut pandang masing-masing. Namun, rumusan yang baik mencakup proses, metode dan teknik, dan prosedur untuk memecahkan masalah pendidikan.” Kebijakan pendidikan yang dibuat pada masing-masing negara tentunya memiliki fungsi dan tujuan masing-masing. Seperti halnya di Indonesia kebijakan pendidikan didasarkan pada tujuan dan cita-cita bangsa seperti yang terdapat dalam pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 alinea keempat. Dan secara detail terdapat dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional.  Disamping tujuan dan fungsi, kebijakan pendidikan yang dibuat di masing-masing negara berguna untuk mengatasi problematika-problematika yang ada.
Indonesia sebagai salah satu negara yang berada di kawasan ASEAN mengalami perubahan yang dinamis dalam membuat kebijakan didunia pendidikan seperti halnya kebijakan pendidikan di Indonesia yang semula sentralisasi menjadi desentralisasi, atau banyak juga yang menyebut bahwa hal ini adalah sebagai bentuk dari pada era pendidikan reformasi di Indonesia yang tertuang dalam konteks politik pendidikan otonomi daerah, dengan kata lain kebijakan pendidikan dengan menerapkan otonomi daerah merupakan suatu solusi dalam mengatasi problematika pendidikan yang ada di Indonesia. Kebijakan pemerintah tersebut dibuat dengan tujuan agar dapat meningkatkan kualitas pendidikan di Indonesia yang mencakup seluruh substansi manajemen pendidikan. Menurut Baedhowi (2009:74) mengatakan bahwa membangun sistem otonomi daerah di bidang pendidikan memerlukan waktu yang cukup lama dengan proses yang bertahap dan berkesinambungan terutama bagi pelaksana dalam memahami secara komprehensif tentang otonomi daerah bidang pendidikan. Namun keutungan yang didapat bagi negara yang menerapkan sistem kebijakan otonomi daerah di bidang pendidikan cenderung dapat mencapai keberhasilan, karena secara tidak langsung hal tersebut merupakan uji coba dengan cakupan dan kedalaman (wewenang dan tanggung jawab) yang disesuaikan dengan daerah masing-masing dalam mengembangkan lebih lanjut kualitas pendidikan. Disamping itu, Baedhowi juga menjelaskan bahwa faktor-faktor yang memengaruhi proses implementasi otonomi daerah bidang pendidikan, antara lain: komitmen pemerintah dan pemerintah daerah untuk sungguh-sungguh melaksanakan otonomi daerah bidang pendidikan yang menjadi kewenangan masing-masing, kemampuan sumber daya manusia dalam melaksanakan kebijakan, dukungan dana pendidikan yang memadai, dan penyelenggaraan administrasi yang transparan dan akuntabel baik terhadap organisasi maupun publik. Kebijakan atas otonomi daerah tersebut didasarkan pada Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 yang kemudian disempurnakan dengan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Peran pemerintah terhadap  kebijakan otonomi daerah juga disebutkan secara singkat dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional yaitu pada Bab XIV mengenai pengelolaan pendidikan pasal 50 ayat (2) yang menyatakan bahwa “Pemerintah menentukan kebijakan nasional dan standar nasional pendidikan untuk menjamin mutu pendidikan nasional.” Dan pada ayat selanjutnya menjelaskan tentang kebijakan pendidikan di perguruan tinggi yakni pada ayat (6) yang menyatakan bahwa “Perguruan tinggi menentukan kebijakan dan memiliki otonomi dalam mengelola pendidikan di lembaganya.”Dalam hal ini dapat diketahui bahwa bentuk dari peran pemerintah daerah dalam kebijakan pendidikan sesuai dengan otonomi daerah tampak pada kebijakan yang terdapat pada sekolah dasar hingga sekolah menegah, pemerintah pusat memberlakukan suatu kebijakan dan pemerintah daerah dalam memilih atau menyesuaikan untuk menerapkan kebijakan tersebut, misalnya dalam hal kurikulum pada sekolah dasar ataupun sekolah menengah masih diberikan kebebasan untuk tidak mengikuti kurikulum nasional yaitu kurikulum 2013 pada saat awal pemberlakukan kurikulum tersebut dengan alasan ketidaksiapan masing-masing sekolah yang ditinjau dari kesiapan tenaga pendidik ataupun kurang mendukungnya sarana dan prasarana yang ada di sekolah disuatu daerah. Sedangkan untuk perguruan tinggi pengelolaan lembaga pendidikannya memiliki kebebasan yang lebih dominan dengan diatur oleh kementrian riset, teknologi, dan pendidikan tinggi.
Disisi lain, adanya kebijakan pendidikan bukan hanya didasarkan atas karakteristik negara masing-masing namun juga sebagai akibat dari pengaruh persaingan global yang tidak hanya memengaruhi satu aspek kemajuan teknologi tetapi juga banyak aspek dalam kaitannya dengan aspek ekonomi, politik pemerintahan, maupun sosial-budaya yang dapat memengaruhi konsep pendidikan di suatu negara di seluruh dunia, tak terkecuali negara-negara di kawasan ASEAN. Dewasa ini, banyak tulisan tentang konteks global dan retorika tentang keharusan global dan menjadi resep kebijakan, misalkan tentang studi bahasa dan budaya Asia, komputer di sekolah-sekolah, reformasi pemerintahan hingga peningkatan partisipasi di perguruan tinggi. Disamping itu, pada era globalisasi saat ini kurang lebih memiliki pengaruh pada kebijakan pendidikan diseluruh dunia yang mana gobalisasi menitikberatkan pada ciri-ciri suatu bangsa. Oleh karena itu, hal tersebut menjadi tantangan oleh masing-masing negara di seluruh dunia dalam memajukan pendidikan dengan tetap melestarikan warisan budaya dan nilai-nilai luhur yang dimiliki pada masing-masing negara. Maka dari itu, munculnnya globalisasi sebagai suatu ide/gagasan perlu diseleksi dalam penerimaannya dengan hati-hati oleh masyarakat pada masing-masing negara dalam hal hubungan antara satu negara dengan yang lain.
Menurut Hernes (2003:7) dalam Fattah (2013: 141-142) menyatakan bahwa sedikitnya ada tujuh tantangan global yang dihadapi oleh pendidikan, yaitu sebagai berikut: (1) Mengurangi kesenjangan dalam pemerataan pendidikan; (2) Mengukuhkan hubungan yang lebih baik antara pendidikan dan ekonomi setempat (lokal), dan antara pendidikan dengan dunia kerja yang mengglobal; (3) Mencegah berkembangnya peran dari riset dan pendidikan yang dikendalikan oleh pasar dan melebarnya kesenjangan teknologi dan ilmu pengetahuan diantara negara industry dan negara berkembang; (4) Menjamin bahwa persyaratan riset negara berkembang menerima perhatian dan ditujukan oleh ilmuwan dan sarjananya; (5) Mengurangi dampak negatif dari brain drain dari negara miskin ke negara kaya dan dari wilayah tertinggal ke wilayah maju, sebagai pasar untuk siswa yang juga mengglobal; (6) Mengarahkan dampak dari prinsip-prinsip pemasaran dan perubahan peran dari negara terhadap pendidikan dan membantu perencanaan dan manajemen pendidikan; (7) Menggunakan sistem pendidikan tidak hanya untuk memindahkan batang tubuh keilmuan secara umum, tetapi melestarikan berbagai warisan budaya dunia, bahasa seni, gaya hidup di dunia yang semakin menjadi homogen.
Dari penjelasan diatas sudah dapat diketahui bahwa peran penting kebijakan pendidikan tidak dapat terelakkan lagi. Suatu negara membutuhkan kebijakan guna mencapai tujuan bersama dengan menyelaraskannya pada nilai-nilai luhur di negara tersebut. Analisis kebijakan pendidikan menggambarkan bagaimana negara merencanakan dan menuju pada prioritas pendidikan, kemudian analisis tersebut dijelaskan oleh adanya faktor-faktor global yang sekarang berpengaruh pada lembaga negara dan pilihan-pilihan kebijakannya. Oleh karenanya analisis kebijakan juga berguna sebagai alat dalam mengatur sistem pendidikan atau dapat pula dikatakan dapat berguna untuk memberi batasan-batasan terhadap pengaruh negatif dari globalisasi. Menurut Suyahman (2016:1047) Analisis kebijakan merupakan suatu prosedur berfikir yang sudah lama dikenal dan dilakukan dalam sejarah manusia. Sedangkan analisis kebijakan pendidikan adalah prosedur untuk menghasilkan informasi kependidikan, dengan menggunakan data sebagai salah satu masukan bagi perumusan beberapa alternatif kebijakan dalam pengambilan keputusan yang bersifat politis dalam rangka memecahkan masalah kependidikan.

METODE
                Metode yang digunakan dalam penulisan artikel ini yaitu dengan menggunakan metode literatur. Metode literatur merupakan cara menghimpun sumber-sumber teori referensi yang berhubungan atau relevan dengan topik yang akan dibahas. Referensi yang didapat melalui studi literatur dapat berupa artikel, jurnal, internet dan berbagai macam buku/pustaka. Sumber-sumber tersebut digunakan sebagai dasar dalam penyusunan artikel. Literatur juga memiliki arti yang sama dengan literasi, menurut Kemendikbud tahun 2016 tentang Gerakan Literasi untuk Tumbuhkan Budaya Literasi menjelaskkan berbagai macam definisi literasi sesuai dengan jenisnya yang diantaranya ada literasi baca tulis hitung (calistung), literasi sains, literasi Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK), literasi budaya, literasi keuangan, dan literasi kewarganegaraan. Pada dasarnya literasi memiliki arti suatu cara manusia dalam mengakses sesuatu sehingga mengakibatkan adanya kemampuan dalam mengetahui, memahami, serta menggunakan sesuatu secara cerdas melalui berbagai aktivitas seperti melihat, membaca, mendengarkan, menyimak, menulis, dan berbicara.

PEMBAHASAN
Perkembangan Pendidikan Negara Kawasan ASEAN
            Negara ASEAN merupakan kawasan wilayah negara berkembang yang memerlukan perubahan pada sektor-sektor yang dimilikinya guna meningkatkan daya saing di negara-negara ASEAN dengan negara lain secara global. Pada saat ini negara-negara ASEAN gencar melakukan peningkatan pada beberapa sektor terutama pada sektor pendidikan. Dengan meningkatnya pada sektor pendidikan maka diharapkan akan berimbas juga pada sektor-sektor lainnya karena dengan adanya pendidikan yang berkualitas akan menciptakan SDM yang baik serta dapat bersaing dan berkembang untuk membangun negara yang lebih maju. Untuk mencapai hal tersebut negara ASEAN memiliki daya saing yang bagus dalam persaingan dunia baik secara regional maupun secara global.
Negara-negara di ASEAN melakukan kerjasama pada sektor pendidikan yang ditandai dengan adanya Cha-Am Hua Hin Declaration On Strengthening Cooperation On Education To Achieve An Asean Caring And Sharing Community pada KTT ASEAN ke-15 di Hua Hin, Thailand pada tanggal 23-25 Oktober 2009. Dengan adanya kerjasama tersebut diharapkan dapat meningkatkan kualitas pendidikan dan dapat menciptakan kualitas SDM yang unggul dan profesional. Sehingga dengan adanya kualitas SDM yang unggul dapat memecahkan atau menjawab problem-problema yang ada di masyarakat baik problema mengenai kependudukan maupun pendidikan.
            Menurut Imron (2008:104) menyatakan bahwa terdapat problema-problema yang ada di bidang kebijakan pendidikan meliputi problema pengambil kebijakan, problema yang dihadapi oleh perencana pendidikan, dan problema spesifik yang dihadapi oleh administrator pendidikan. Sehingga dari sini dapat diketahui bahwa para aktor pembuat kebijakan haruslah memperhatikan instrumen-instrumen dalam perumusan kebijakan untuk meminimalisir adanya problema yang dihadapi actor dalam pembuatan kebijakan.

Problematika-Problematika Kebijakan Pendidikan yang Ada di Kawasan ASEAN
Kebijakan merupakan petunjuk teknis pelaksanaan program yang akan dilaksanakan agar dapat berjalan secara lancar sehingga dapat mencapai tujuan yang telah ditetapkan. Namun, kebijakan-kebijakan yang dijalankan tidaklah terus berjalan secara mulus, tetapi juga mengalami kendala-kendala, begitu pula kebijakan yang diterapkan dalam sektor pendidikan. Di tingkat ASEAN kebijakan yang telah diterapkan untuk meningkatkan kualitas pendidikan yaitu dengan menerapkan kurikulum berstandarkan ASEAN. Jadi kurikulum yang diterapkan diseluruh negara kawasan Asia Tenggara yaitu berdasarkan kurikulum yang telah ditetapkan oleh ASEAN. Namun, dalam implikasinya cara penyampaian kurikulum disetiap negara berbeda-beda. Hal ini dipengaruhi oleh adanya perbedaan budaya, ideologi, dan sistem politik yang ada di masing-masing negara. Selain itu sistem pendidikan yang digunakan dalam pembelajaran juga dapat mempengaruhi kualitas pendidikan yang dihasilkan.
            Di ASEAN setiap negara memiliki sistem pendidikan masing-masing yang diterapkan dalam pembelajaran. Sistem pendidikan yang berbeda-beda inilah yang membuat kualitas pendidikan di ASEAN terdapat ketidakseimbangan. Sebab dalam satu kawasan regional terdapat pendidikan dengan kualitas yang sangat bagus, namun disisi lain terdapat juga negara yang kualitas pendidikannya masih rendah. Setara dengan pernyataan yang diungkapkan oleh Direktur Utama ASEAN University Network (AUN) Nantana Gajaseni dalam Murdaningsih (2015), bahwa yang menjadi kendala terbesar dalam meningkatkan kualitas pendidikan di Asia Tenggara yaitu ada banyaknya perbedaan dalam sistem pendidikan di banyak negara terutama ASEAN. Lebih lanjut Nantana dalam Murdaningsih (2015) menyatakan bahwa, terdapat 7.446 perguruan tinggi memiliki sistem pendidikan yang berbeda. Dari 10 negara yang ada di ASEAN dengan jumlah perbedaan sistem pendidikan yang begitu besar, dapat nilai bahwa hal ini yang menyebabkan kendala dalam meningkatkan kualitas pendidikan ASEAN di kancah dunia. selain itu, tantangan lainnya adalah keberagaman kemampuan dan ketersediaan fasilitas lokal di setiap masing-masing negara yang berbeda-beda. Sehingga menyebabkan mahasiswa luar negara ASEAN kurang termotivasi untuk belajar di perguruan tinggi yang berada di kawasan ASEAN.
            Disamping itu, terdapat pula problematika-problematika yang secara spesifik diklasifikasikan berdasarkan pada hal-hal sebagai berikut:
1. Problema Pengambil Kebijakan
            Ada beberapa problema yang harus dihadapi oleh pengambil kebijakan pendidikan di kawasan negara-negara ASEAN, diantaranya yaitu:
  1. Demokratisasi Pendidikan
Sejak diadakannya deklarasi Karachi Plan pada tahun 1960, demokratisasi pendidikan untuk negara-negara kurang mengalami perkembangan dan kemajuan yang baik. Dapat diperkirakan bahwa secara global masih banyak terdapat orang yang mengalami buta huruf. Pada orang dewasa yang mengalami buta huruf sekitar 814 juta orang, sedangkan pada anak-anak usia sekolah ada sekitar 123 juta yang tidak bersekolah.
  1. Keadilan Pendidikan
Keadilan sendiri disini masih diperdebatkan karena keadilan bagaimanakah yang dimaksudkan adil dalam konteks keadilan pendidikan ini oleh semua kalangan pihak. Keadilan atau ketidakadilan pendidikan dapat diindikasikan dari belum samanya kesempatan yang diberikan serta kurang dimanfaatkannya dengan baik. Misalnya anak-anak yang ada perkotaan lebih mendapatkan pendidikan yang baik dan bermutu daripada anak-anak yang berada dipedesaan yang mengalami kekurangan baik dari segi fisilitas, sarana dan prasarana serta tenaga profesional pendidikan. Sehingga hal tersebut mempengaruhi hasil atau output  dari lulusan yang dibentuk.
  1. Efisiensi
Efisiensi merupakan masalah yang sangat krusial bagi negara berkembang. Karena keterbatasan sumber daya yang dimiliki baik sumber daya manusia yang profesional maupun sumber daya lainnya. Di negara berkembang kurang dapat menggunakan sumber daya secara efisien ke dalam perumusan, perencanaa, dan pembuatan kebijakan pendidikan. Telah banyak dilakukan eksperimentasi mengenai problema efisiensi, tetapi tidak ditemukan bahwa persoalan efisiensi ini bisa dipecahkan sesuai dengan yang diharapkan.
  1. Masalah Relevansi
Seperti saat ini dunia mengalami perubahan dan perkembangan yang sangat pesat sehingga manusia dituntut untuk meningkatkan aspirasi dan harapan yang tinggi sehingga dapat mencapai perubahan. Problema relevansi pendidikan dengan ketersediaan lapangan pekerjaan merupakan masalah utama yang masih belum terselesaikan. Oleh karena itu, penyusunan program-program yang berkaitan dengan lapangan pekerjaan dipandang begitu mendesak. Solusi yang dapat diambil bagi pembuat kebijakan yaitu dengan adanya pendidikan kewirausahaan dapat membuka lapangan pekerjaan bagi mereka yang belum mendapatkan pekerjaan.
2. Problema yang Dihadapi oleh Perencana Pendidikan
            Pada pendidikan tingkat mikro, para perencana pendidikan umumnya dihadapkan pada permasalahan yang spesifik akibat dari adanya permasalahan-permasalahan pokok sebelumnya, yaitu:
  1. Pemilihan Model Penyampaian
Pemilihan model penyampaian haruslah yang sesuai dengan pelaksanaan pendidikan saat ini. Hal ini berkaitan dengan problema demokratisasi pendidikan, keadilan pendidikan, efisiensi, dan relevansi pendidikan.
            Sistem pendidikan formal dan non formal untuk memecahkan suatu permasalahan pendidikan masih menjadi persoalan, karena sulit untuk menentukan mana yang seharusnya untuk dipilih. Maka dari itu negara-negara di kawasan ASEAN menggunakan keduanya baik secara sendiri-sendiri atau konvergensi. Model penyampaian yang telah digunakan yaitu secara konvensional dan modern, namun sayangnya belum dilakukan evaluasi secara sistematis dan menyeluruh yang dapat ditentukan mana yang lebih efektif dan efisien.
            Selain itu, ada juga masalah yang terkait dengan model penyampaian yaitu masalah inovasi dan teknologi pendidikan. Penelitian yang sudah sistematis dalam permasalahan ini membantu menjelaskan isu-isu dan masalah-masalah dalam penerapan model penyampaian yang berbeda. Seperti yang diselenggarakan oleh INNOTECH yaitu sekolah pamong (Instructional Management by Parent, Community and Teacher) dan RIT (Reduced Instructional Time) yang telah dilakukan di Thailand, yang berusaha mengembangkan model penyampaian pengajaran yang efektif dan efisien.
            Setiap perencana pendidikan haruslah menempatkan perhatian pada pencapaian tujuan dari sistem tersebut tetapi tetap memerhatikan standar pada rancangan sistem baik di lingkungan lokal maupun di lingkungan nasional. Seperti halnya sistem pengajaran yang dikembangkan, proyek lain juga perlu dilihat keefektivitasnya dengan berpedoman pada pencapaian tujuan pendidikan nasional.
            Penemuan alat-alat baru terutama alat produksi agar membuat pekerjaan menjadi lebih efisisen dan inovasi dalam ilmu pengetahuan sangat dipengaruhi dengan adanya ketersediaan keuangan. Seperti halnya negara miskin pada umumnya yang mempunyai keterbatasan pada sumber-sumber potensial yang dimilikinya karena terkendala dengan adanya keuangan, sehingga potensi-potensi yang ada belum berkembang secara optimal. Oleh karena itu, negara-negara yang memiliki permasalahan tersebut harus mencari jalan atau alternatif lain untuk mengatasi masalah tuntutan pada pendidikan dan pekerjaan yang ada di dalam masyarakat yang secara terus-menerus mengalami perubahan dan kemajuan secara cepat.
            Hal-hal mengenai hambatan-hambatan keuangan dipengaruhi dengan pertumbuhan ekonomi pada negara tersebut. Sedangkan pertumbuhan ekonomi pada suatu negara dipengaruhi oleh pendidikan, dengan pendidikan diharapkan dapat mempengaruhi masyarakat untuk mendorong pertumbuhan ekonomi negara yang dapat meningkatkan potensi sumber-sumber yang dimiliki dengan baik.  
  1. Pendayagunaan Personel dan Fasilitas Bagi Pencapaian Hasil yang Maksimal
Dengan hal ini para pembuat perencanaan pendidikan dapat memanfaatkan sumber potensi yang dimilikinya mendorong agar membuat inovasi dan alternatif lain untuk menjawab masalah-masalah yang tengah dihadapi. Proyek inovasi-inovasi dibawah naungan INNOTECH telah banyak memberikan hasil sesuai dengan yang dikehendaki dan dapat dijadikan contoh untuk negara-negara yang sedang berkembang.
  1. Hubungan antara Pendidikan dengan Perencanaan Sosial Ekonomi
Hubungan antara pendidikan dengan perencanaan sosial ekonomi adalah dalam hal ini pendidikan belum dapat menjawab masalah-masalah yang sedang terjadi di masyarakat, sedangkan masalah yang ada di masyarakat terus terjadi dan berkembang sehingga menuntut untuk segera diketahui dan diselesaikan. Akan tetapi dunia pendidikan mengalami kendala keterbatasan sarana dan prasarana sehingga mengahambat laju dunia pendidikan untuk pendidikan.
3. Problema Spesifik yang Dihadapi oleh Administrator Pendidikan
            Terdapat lima masalah yang dihadapi oleh administrator pendidikan pada negara-negara di ASEAN yang berkaitan dengan kebijaksanaan pendidikan. Dari kelima masalah tersebut ada tiga masalah yang berkaitan dengan organisasi, manajemen, dan evaluasi. Dan dua diantaranya berkaitan dengan latihan dan pembinaan guru serta ketersediaan buku teks dan media pembelajaran.
            Yang pertama yaitu masalah yang berkaitan dengan organisasi pendidikan. Masalah organisasi pendidikan misalnya yaitu berkaitan dengan pada sekolah yang memiliki tingkatan-tingkatan yang berbeda. Ukuran kelas dan adanya teknologi serta penggunaan tingkatan kelas besar atau kecil perlu diperhatikan oleh administrator pendidikan. Administrator juga perlu memperhatikan daerahnya baik sesuai dengan faktor kondisional dan situasional untuk mendapatkan model sekolah yang cocok untuk dikembangkan di daerah tersebut. Seperti daerah yang memiliki tingkat migrasi tinggi maka akan lebih baik menggunakan sekolah permanen. Sementara itu daerah yang memiliki jarang penduduk, perlu diadakannya layanan-layanan transportasi bagi anak sekolah. 
            Masalah yang kedua yaitu masalah manajerial. Masalah manajerial ini juga berkaitan dengan organisasi pendidikan. Bedanya manajerial yang diatas membahas tentang ukuran kelas, sedangkan organisasi pendidikan disini membahas tentang penggunaan teknik manajemen yang tepat oleh administrator. Dalam hal ini administrator mengurus mengenai berbagai macam perbedaan karena berukuran besarnya sekolah sehingga memiliki banyak warga mulai dari peserta didik sampai dengan staf, guru, dan tenaga kependidikan serta sarana prasarana yang ada di sekolah tersebut. Berkaitan dengan masalah manajerial ini, terdapat isu yang perlu diperhatikan oleh administrator pendidikan. Isu tersebut adalah jika sekolah menginginkan menanamkan nilai moral kepada peserta didik dengan keadaan sekolah yang memiliki keberagaman. Maka dalam penanamannya tidak semudah seperti seseorang yang mempersiapkan diri untuk menduduki suatu jabatan dalam pekerjaan. Oleh karena itu, pelatihan saja tidak cukup dalam menanamkan nilai-nilai moral kepada peserta didik seperti pelatihan yang dilakukan dalam pekerjaan.
            Evaluasi pendidikan merupakan masalah ketiga yang harus dihadapi oleh administrator pendidikan, evaluasi ini berkaitan dengan hasil capaian dalam rana afektif, kognitif, dan psikomotorik. Sebagai administrator harus mempunyai pilihan nilai terhadap perdebatan mengenai titik tekan pada rana tersebut. Selain itu masalah dalam evaluasi adalah penggunaan sistem evaluasi dalam penjaringan calon peserta didik baru yang sering kali mengalami kesulitan dalam pengelolaannya.
            Masalah selanjutnya yaitu masalah pelatihan dan pembinaan guru. Administrator memiliki peranan penting dalam kesuksesan atau kegagalan mencetak tenaga pendidik yang kompeten. Karena seorang administrator merupakan orang yang merancang sistem penyelenggaraan pendidikan terutama dalam hal merancang program pembinaan pendidikan yang sesuai dengan tuntutan zaman yang terus berubah dan bergerak maju.
            Dan yang ke lima yaitu masalah mengenai buku dan media pengajaran. Inovasi pendidikan baik sedikit atau banyak akan berkaitan dengan ketersediaan buku dan media pengajaran. Dengan semikian, secara keseluruhan masih bergantung dengan interaksi antar manusia yang ada di lembaga tersebut. Oleh karena itu, administrator haruslah dapat meningkatkan interaksi antar manusia ini agar dalam merancang sistem pengajaran tidak terabaikan.

Gambaran Kebijakan-Kebijakan Pendidikan di Negara-negara Kawasan ASEAN
Menurut Peters dan Besley dalam Berse (2018) menyatakan bahwa banyak hal penting yang selalu ditempatkan pada kapasitas pendidikan tinggi untuk mendorong pertumbuhan dan dapat berkontribusi dalam pembangunan daerah. Pada tahun 2002, sebuah laporan Bank Dunia menggarisbawahi peran penting pendidikan tinggi di Indonesia diantaranya untuk pembangunan ekonomi, pengetahuan, dan membangun masyarakat yang demokratis. Sedangkan menurut Altbach dalam Berse (2018) menyatakan bahwa di Asia telah menggemakan pengamatan yang sama tentang pendidikan tinggi yang memainkan peran penting serta tak terhindarkan di wilayah ini, bahwa sebagian besar berbasis layanan dan mendorong pertumbuhan ekonomi secara teknologi. Pada tahun 2007, pada KTT ASEAN ke-13 yang diadakan di Singapura, pernyataan ketua berkaitan dengan persiapan mengenai suatu rencana ASCC sangat meyakinkan dalam memuji pentingnya pendidikan dalam daya saing. Dan daya saing kawasan memastikan bahwa dampak sosial akan dapat diminimalkan dalam menghadapi globalisasi, terutama karena ASEAN melakukan lebih banyak upaya menuju integrasi (ASEAN dalam Berse, 2018). Sejak itu, berbagai kebijakan pendidikan tinggi institusi dan nasional di seluruh ASEAN telah dirumuskan dan diimplementasikan sesuai dengan tuntutan menciptakan pendidikan tinggi yang harmonis dengan sistem berdasarkan prinsip dan inisiatif regional yang telah disepakati. Namun, prosesnya tidak mudah karena adanya perbedaan fundamental dalam struktur, kualitas, dan proses pendidikan tinggi di antara negara-negara anggota.
Menurut Acharya dalam Berse (2018:44) peran pendidikan dalam membangun komunitas di negara-negara kawasan ASEAN yang didirikan pada 8 Agustus 1967 oleh para menteri luar negeri seperti: Indonesia, Malaysia, Filipina, Singapura, dan Thailand adalah untuk mewujudkan kerja sama lintas ekonomi, bidang budaya, dan pendidikan, disamping untuk mempromosikan perdamaian dan stabilitas di seluruh wilayah. Keanggotaan yang pada awalnya terbatas pada lima anggota pendiri, sejak tahun 1984-1999 diperluas hingga ke Brunei, Vietnam, Laos, Myanmar, dan Kamboja.
Promosi pemberdayaan manusia selalu menjadi bagian dari tindakan yang diprioritaskan menuju kolaborasi yang lebih dalam di antara anggota ASEAN. Penekanan pada pengembangan manusia inilah yang menjadi kunci peran pendidikan dalam membangun sebuah komunitas regional yang harus disorot. Pendidikan dan  komponen lain seperti kesehatan, hak asasi manusia, dan lingkungan yang berkelanjutan diakui sebagai variabel penting dalam mempersiapkan orang-orang di wilayah ini untuk menjadi kompeten, anggota masyarakat yang produktif dan peka terhadap budaya. Begitulah nilai yang diberikan untuk pendidikan, hal itu sebagai tindakan koresponden yang dimaksudkan untuk memajukan dan memprioritaskan sektor pendidikan khususnya pendidikan tinggi yaitu tindakan untuk memberdayakan manusia. Beberapa tindakan koresponden yang termasuk dalam upaya tersebut adalah untuk:
Ø  Meningkatkan jaringan pendidikan di berbagai tingkat lembaga pendidikan dan melanjutkan universitas jaringan dan meningkatkan dan mendukung pertukaran siswa dan staf dan interaksi profesional termasuk menciptakan kelompok penelitian di antara lembaga-lembaga pendidikan tinggi ASEAN, bekerja sama erat dengan Organisasi Menteri Pendidikan Asia Tenggara atau biasa disebut dengan SEAMEO dan Jaringan Universitas ASEAN atau biasa disebut dengan AUN;
Ø  Memperkuat kolaborasi dengan organisasi pendidikan regional dan internasional lainnya untuk meningkatkan kualitas pendidikan di wilayah ASEAN;
Ø  Mempromosikan opsi penempatan universitas di lembaga pendidikan tinggi di ASEAN dari kedua negara anggota melalui program "satu semester di luar negeri" atau "satu tahun di luar negeri" (ASEAN dalam Berse, 2018 ).
1. Kebijakan Pendidikan di Indonesia
Indonesia merupakan negara kepulauan yaitu memiliki beribu-ribu pulau, jumlah pulaunya mencapai lebih dari 17.000 pulau, yang mana dengan kondisi demografi negara Indonesia yang seperti ini merupakan suatu tantangan bagi Indonesia dalam melakukan penyampaian sistem pendidikan yang komprehensif dan terintegrasi. Disamping itu tantangan yang lain yaitu terletak pada jumlah populasi penduduk Indonesia yang mana juga berpengaruh pada pertumbuhan ekonomi negara dan kesejahteraan penduduknya. Pada tahun 2011, populasi penduduk di Indonesia mencapai 237,67 juta jiwa yang terdiri dari 300 etnis dan 700 bahasa daerah. Tingkat PDB per kapita yang dimiliki mencapai US $ 3.563, sehingga Bank Dunia mengklasifikasikan sebagai ekonomi dengan pendapatan menengah.
Sistem pendidikan di Indonesia berdasarkan pada Pancasila yang merupakan dasar filosofi dari negara Indonesia. Tujuan dari sistem pendidikan nasional Indonesia yaitu untuk mengembangkan keterampilan, karakter, dan peradaban dengan meningkatkan intelektual dan mengembangkan nilai-nilai kemanusiaan pada siswa seperti bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, memiliki moral dan karakter yang baik, sehat jasmani dan rohani, berpengatahuan luas, kompeten, kreatif, dan mandiri serta bertindak sebagai layaknya warga negara yang demokratis dan bertanggungjawab. Dapat dikatakan bahwa pendidikan tidak hanya berpusat pada pengembangan kognitif melainkan juga dalam mengembangkan moral sehingga dapat membangun indentitas bangsa.
Di Indonesia yang bertanggungjawab akan pendidikan yaitu Kementrian Pendidikan dan Budaya dan Kementrian Agama yang mana bertanggungjawab atas semua sekolah yang berkaitan dengan sekolah yang berbasis pendidikan Islam. Sedangkan untuk pendidikan non formal secara eksplisit diatur dalam konstitusi, sebab didalam sistem pendidikannya terdapat perbedaan antara pendidikan formal dan non formal. Pendidikan non formal berfumgsi sebagai sarana bagi masyarakat dalam menambah pendidikan formal sehingga dapat meningkatkan pengetahuan dan keterampilan pada siswa. Sejak tahun 2000 diberlakukannya Undang-Undang mengenai desentralisasi keuangan dan administrasi, pada tingkat provinsi dan pemerintah daerah memiliki peran penting dalam pengelolaan sistem pendidikan. Otoritas pendidikan di daerah telah banyak mengambil alih peran dari Kemendikbud dalam membuat perencanaan, penyampaian, dan evaluasi program pendidikan. 
Kondisi pendidikan di Indonesia mencapai pada tingkat menengah dibandingkan kondisi pendidikan yang ada di negara-negara lain anggota ASEAN. Hal ini dikarenakan tingkat partisipasi murni peserta didik di Indonesia terutama pada jenjang sekolah menengah atas kurang dari 60%. Kemudian untuk bentuk struktur sekolah umum di Indonesia menggunakan pola 6-3-3, yaitu, enam tahun studi dasar, tiga tahun studi menengah bawah, dan tiga tahun studi menengah atas. Indonesia telah berhasil mencapai kesetaraan gender tingkat tinggi dalam sistem pendidikannya. Namun yang perlu diperhatikan adalah bahwa anak perempuan di Indonesia mencatat prestasi keaksaraan yang jauh lebih baik daripada anak laki-laki. Disamping itu kendala lain yang menjadi tantangan didunia pendidikan yang ada di Indonesia yaitu adanya ketidakadilan berdasarkan perbedaan dalam tingkat pendapatan dan kekayaan rumah tangga. Dari hasil survei menunjukkan bahwa ada kesenjangan yang signifikan dalam pencapaian terkait dengan kekayaan keluarga. Hasil PISA pada tahun 2009 menunjukkan bahwa yang terdaftar di sekolah menengah atas atau pendidikan tinggi terdapat hampir 80% peserta didik yang berasal dari latar belakang keluarga yang kaya, tetapi hanya 20% peserta didik yang berasal dari latar belakang keluarga miskin. Disamping itu pula masalah pendidikan yang lain adalah pertumbuhan jumlah guru selama satu dekade terakhir di Indonesia sangat spektakuler. Hal ini diperkirakan bahwa sejak tahun  2004 jumlah guru sekolah dasar telah meningkat sebesar 30%, sementara jumlah siswa sekolah dasar tetap atau kurang lebih konstan. Dari rasio guru yang lebih banyak dibandingkan dengan peserta didik yang ada, justru tidak begitu berpengaruh terhadap peningkatan kualitas pendidikan di Indonesia. Hal ini karena perbaikan pedidikan terbatas di Jawa dan Bali. Oleh karena itu, seharusnya guru yang dipekerjakan di daerah pedesaan dan terpencil perlu terus melanjutkan studinya guna menjadi lebih berkualitas.
Indonesia merupakan salah satu negara dalam anggota ASEAN, saat ini negara-negara diwilayah tersebut sedang melakukan pengembangan dan perbaikan dalam bidang pendidikan begitupun dengan Indonesia. Untuk memperbaiki dan meningkatkan kualitas pendidikan, Indonesia telah melaksanakan beberapa program untuk memudahkan masyarakat dalam mengakses pendidikan. Seperti pemerintah telah menyediakan program BOS, BSM, dan KIP yang diberikan pada masyarakat kurang mampu, sehingga tetap dapat mengenyam pendidikan. Selain itu, Indonesia juga berkaca dengan negara-negara lain di kawasan Asia Tenggara yang mempunyai pendidikan berkualitas bagus. Serta selalu meninjau posisi peringkat mutu pendidikan yang ada di Asia Tenggara guna meningkatkan motivasi dan evaluasi mengenai sistem pendidikan yang telah diterapkan.  Namun, berdasarkan data yang didapatkan dari Welle (2019) secara umum, kualitas pendidikan di Indonesia masih dibawah Palestina, Samoa, dan Mongolia.  Sedangkan skor Indeks Pendidikan yang dimiliki oleh Indonesia sebesar 0,603, hal ini menyebabkan Indonesia berada di posisi 108 pendidikan di dunia dan berada di posisi ke lima pendidikan di ASEAN. Sebagai negara kepulauan negara Indonesia hanya 44% dari penduduknya  yang dapat menuntaskan pendidikan menengah. Sementara itu, 11% dari siswa-siswa yang bersekolah gagal menuntaskan pendidikan alias keluar dari sekolah. Menurut pemetaan kemendikbud terhadap 40.000 sekolah pada tahun 2012 dalam Widodo (2015:301), menyatakan bahwa pemetaan akses dan mutu pendidikan Indonesia pada tahun 2013-2014 menunjukkan bahwa Indonesia berada pada posisi 40 dari 40 negara, untuk pendidikan tinggi Indonesia berada di peringkat 49 dari 50 negara dan untuk pemetaan literasi pada anak-anak mengenai sains dan matematika berada pada peringkat 40 dari 42 negara.
Pendidikan sekolah dasar di Indonesia telah disediakan sebagai salah satu sektor publik yang utama. Lamanya pendidikan sekolah dasar di Indonesia yaitu sekitar 6 tahun. Sekitar 10% dari seluruh siswa sekolah dasar yang ada di Indonesia, memilih untuk bersekolah di madrasah (Sekolah berbasis agama Islam). Kurikulum di sekolah dasar meliputi: studi bahasa Indonesia, matematika, sains, ilmu sosial, seni, pendidikan jasmani dan agama. Selain itu dalam praktik pembelajaran sekolah dasar di Indonesia juga menyisipkan nilai-nilai pembelajaran yang berasal dari nilai-nilai budaya lokal setempat maupun tambahan studi bahasa seperti bahasa Inggris atau bahasa lain seperti bahasa Arab yang biasanya diterapkan di sekolah-sekolah berbasis agama Islam (madrasah).  Dari berbagai jenis atau macam sekolah di Indonesia pada akhirnya seluruh peserta didik yang megenyam pendidikan sekolah dasar baik sekolah dasar negeri yaitu dari pemerintah maupun yayasan seperti madrasah akan melewati ujian nasional sebagai salah satu bentuk penilaian yang mana berfungsi untuk mengkonfirmasi hasil capaian belajar peserta didik serta sebagai standar dalam menentukan apakah peserta didik  dapat melanjutkan ke jenjang sekolah yang lebih tinggi.

2. Kebijakan Pendidikan di Brunei Darussalam
Brunei Darussalam merupakan negara terkecil dari negara-negara anggota ASEAN, sehingga menjadikan negara ini memiliki Produk Domestik Bruto (PDB) pekapita tertinggi kedua diantara negara-negara anggota ASEAN. Tentu hal tersebut juga berpengaruh pada perkembangan kualitas pendidikan di negara ini . Berdasarkan data dari Welle (2019) bahwa, Brunei Darussalam memiliki Indeks Pendidikan atau EDI sebesar 0,692, menempati posisi 30 pendidikan terbaik di dunia dan menempati posisi kedua pendidikan terbaik di Asia Tenggara. Majunya pendidikan di Brunei Darussalam didukung secara langsung oleh pemerintahnya. Semua biaya pendidikan ditanggung oleh pemerintah termasuk penginapan, makan, buku dan transportasi, sehingga tidak mengherankan jika pendidikan di Brunei Darussalam dapat berkembang secara pesat.  Brunei Darussalam saat ini memang sedang mengutamakan investasi dalam pembangunan dibidang pendidikan seperti diadakannya sistem pendidikan dengan tujuan untuk mengamankan masa depan rakyatnya dalam bidang ekonomi dan pengetahuan global. Disamping itu di negara ini juga telah banyak orang yang dapat berbicara menggunakan bahasa Inggris. Dibidang pendidikan negara ini juga terdapat aktor yang memiliki wewenang dalam mengelola pendidikan, yaitu oleh The Ministry of Education (MOE) atau Departemen Pendidikan yang mana memiliki tanggung jawab untuk mengelola sistem pendidikan, kecuali untuk sekolah yang berbasis agama, yang mengelola adalah The Ministry of Religious Affairs (MORA) atau disebut dengan Departemen Agama (Depag).
Sejak tahun 2009, Brunei Darussalam telah menerapkan Sistem Pendidikan Nasional baru untuk Abad 21 (Sistem Pendidikan Negara Abad ke-21, atau SPN21) yang mana dimaksudkan untuk mencapai visi nasional yang nantinya diwujudkan ditahun 2035, sehingga negara ini akan diakui secara luas dalam pencapaiannya mewujudkan banyak masyarakat yang berpendidikan tinggi dan memiliki keterampilan atau keahlian. Dengan begitu dapat meningkatkan kualitas hidup dan ekonomi yang dinamis serta berkelanjutan dengan pendapatan per kapita yang tinggi pula. Selain itu, pada SNP21 ini terdapat kurikulum dan kerangka penilaian yang mana diterapkan secara progresif dengan memperkenalkan fokus baru dalam sistem sekolah yang berpusat pada peserta didik yang mana memiliki fungsi diantaranya: mendorong siswa untuk membangun kekuatan dan kemampuan mereka, mendorong peserta didik untuk mengejar bidang pelajaran sesuai dengan  minat belajarnya, dapat mengambil keuntungan dari banyak jalur melalui sistem sekolah dan pendidikan tinggi, serta untuk mengembangkan kapasitas pembelajaran seumur hidup. Disamping itu, para guru juga didukung untuk mengembangkan lebih banyak pendekatan yang  berbeda dengan silabus umum. Mereka juga terlibat dalam pengembangan program profesional yang mana dapat memungkinkan mereka dalam memanfaatkan sumber daya Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK) yang lebih kreatif. Dalam implementasi SPN21 ini tidak semata-mata berfokus pada aspek kognitif pendidikan, namun juga berfokus pada peserta didik yang dapat mengerti dan menghargai nilai-nilai dan norma-norma yang ada di Brunei Darussalam sebagai Negara Islam dengan tradisi panjangnya sebagai negara monarki.
Struktur sekolah umum Brunei Darussalam menggunakan pola 6-5-2, yaitu enam tahun studi di sekolah dasar, lima tahun studi di sekolah menengah dan dua tahun studi pra-universitas. Menurut data yang diperoleh menyatakan bahwasanya rata-rata masyarakat yang melek huruf sangat tinggi dapat menyamahi bahkan mengalahkan rata-rata masyarakat yang melek huruf jika dibandingkan dengan rata-rata  regional United Nations Educational, Scientific and Cultural Organization (UNESCO).
Brunei Darussalam telah berhasil mencapai kesetaraan gender di bidang pendidikan, seperti yang ditunjukkan oleh paritas dalam angka partisipasi kasar anak laki-laki dan perempuan di pra-primer, primer dan pendidikan menengah. Di TVET, hanya sekitar 40% dari semua siswa adalah perempuan; tetapi dalam pendidikan tinggi anak perempuan menjadi lebih sukses daripada anak laki-laki - pada tahun 2009, proporsi pendidikan tersier wanita lulusan lebih tinggi daripada proporsi lulusan pendidikan pria di semua yang dilaporkan bidang studi, kecuali untuk teknik. 
Selama dua dekade terakhir, Brunei Darussalam telah menerapkan serangkaian inisiatif tentang pendidikan inklusif. Selama pertengahan 1990-an, program pendidikan guru pra-jabatan direformasi secara luas untuk memberikan perhatian yang jauh lebih besar pada metode pengajaran yang lebih inklusif untuk anak-anak dengan masalah belajar. Program pelatihan dalam layanan yang membahas pendidikan khusus yang  telah diperkenalkan dan telah dikembangkan. Bantuan Pendidikan Khusus yang baru ini  cukup tetap menjadi suatu tantangan dalam sistem pendidikan di Brunei Darussalam. Dari catatan tambahan menunjukkan bahwa Kementerian juga memberikan bantuan kepada siswa yang kurang mampu seperti: pemberian makan (sarapan dan makan siang), dukungan finansial untuk materi sekolah, serta akomodasi asrama.
Pendidikan sekolah dasar di Brunei Darussalam terdapat delapan bidang pembelajaran utama, yaitu: bahasa, matematika, sains, humaniora dan ilmu sosial, seni dan budaya, teknologi, kesehatan dan pendidikan jasmani, dan pengetahuan agama Islam dan Monarki Islam Melayu (filosofi inti Brunei Darussalam yang menggabungkan cinta negara, menghormati penguasa, menjunjung tinggi Islam nilai nilai, pandangan positif tentang pembangunan nasional, dan pengembangan tanggung jawab pribadi sebagai anggota masyarakat). Pendidikan dasar disini juga menggunakan dua bahasa, yaitu bahasa melayu dan bahasa inggris. Untuk bahasa melayu biasanya digunakan pada saat pembelajaran di mata pelajaran pengetahuan agama dan kebangsaan serta mata pelajaran bahasa melayu itu sendiri. Sedangkan bahasa inggris digunakan pada saat mata pelajaran Matematika, Sains, Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK) serta Bahasa Inggris. Akumulasi nilai pembelajaran yang ada disekolah dasar ini menjadi tolak ukur yang menentukan apakah para peserta didik sudah siap atau belum untuk melanjutkan ke pendidikan tingkat menengah. Disamping itu, hasil tes juga digunakan untuk memasukkan peserta didik apakah perlu ke kursus sekolah menengah yang terbaik agar dapat menyesesuaikan kecepatan belajar, kemampuan, dan kecenderungan akademis mereka.

3. Kebijakan Pendidikan di Filipina
Menurut Welle (2019), Filipina menempati posisi 117 pendidikan di dunia dan posisi ke enam di Asia Tenggara, hal ini karena tingkat kegagalan siswa-siswa di Filipina dalam menuntaskan sekolah. Kegagalan dalam menuntaskan pendidikan, di Filipina termasuk dalam peringkat tertinggi di dunia yaitu mencapai 24,2%.
Kebijakan di Filipina dipegang oleh sebuah badan di bawah Kantor Kepresidenan yang memiliki tanggung jawab atas semua hal yang berkaitan dengan pendidikan tinggi di negara Filipina yaitu oleh Komisi Pendidikan Tinggi Filipina atau Philippine Commission on Higher Education (CHED).  Berdasarkan pada tindakan oleh ASEAN Socio-Cultural Community (ASCC), CHED telah aktif dalam mendorong reformasi di bidang-bidang penting untuk harmonisasi pendidikan tinggi di wilayah tersebut, seperti adanya kerangka kerja kualifikasi, jaminan kualitas, dan sistem transfer kredit. Pada dasarnya peran CHED yang utama adalah menyediakan lingkungan yang memungkinkan melalui kebijakan, program, dan rencana untuk mewujudkan tujuan yang harmonis. Serta untuk menerapkan kebijakan yang diperlukan dalam menetapkan kerangka kerja kualifikasi, jaminan kualitas, atau transfer kredit. Harapan dari implementasi tersebut adalah untuk memungkinkan dan memberdayakan sekolah sehingga dapat sepenuhnya menyadarkan masyarakat akan manfaat dari sistem tersebut yang nantinya dapat menghasilkan lulusan yang aktif. Tujuan CHED adalah agar mereka memiliki lulusan yang kompetensinya dan kualifikasinya sama secara global diakui (Berse, 2018 ).
Selain itu di Filipina terdapat pula kerangka kualifikasi yang biasa disebut dengan  Pengembangan Kerangka Kualifikasi Filipina atau Philippine Qualifications Framework (PQF), yang mana memiliki tujuan untuk menetapkan standar tentang keterampilan dan kompetensi, mengembangkan jalur dan kesetaraan, dan memastikan keselarasan standar Filipina dengan kerangka kerja kualifikasi internasional yang akan berkontribusi besar dalam mobilitas dan pengakuan kualifikasi pekerja. Pada tahun 2012, kerangka kerja tersebut merinci setiap individu atau tingkat kualifikasi pendidikan pelajar bersama dengan standar yang sesuai dengan hasil. Sistem ini pada dasarnya menyediakan cara untuk mengenali, mengembangkan, dan memberi penghargaan atas  kualifikasi peserta didik dan pekerja berdasarkan standar pengetahuan, keterampilan, dan nilai–nilai, meskipun dasar untuk memperoleh kualifikasi tersebut dapat bervariasi. Sedangkan Pada tahun 2015, pelembagaan PQF hanya melalui perintah eksekutif dan bukan melalui undang-undang. Namun, sementara proses legislasi masih berlangsung, perlu dicatat bahwa PQF tertuang dalam pada undang-undang yang merupakan Undang-Undang Republik (RA) 10647 atau UU Pendidikan Ladderized 2014. Konsekuensi dengan pelembagaan PQF adalah komitmen Filipina untuk merujuk kualifikasi pendidikannya terhadap Kerangka Referensi Kualifikasi ASEAN atau ASEAN Qualifications Reference Framework (AQRF) pada tahun 2018 (Bautista dan Taganas dalam Berse, 2018). AQRF “adalah kerangka acuan umum yang berfungsi sebagai perangkat untuk memungkinkan terjadinya perbandingan kualifikasi di seluruh Negara Anggota ASEAN serta posisinya disektor pendidikan dan pelatihan dalam tujuan yang lebih luas untuk mempromosikan pembelajaran seumur hidup (AQAF dalam Berse, 2018). 
Pendidikan sekolah dasar di Filipina dimulai dengan menerima peserta didik baru pada usia enam tahun, namun dalam sebagian kecil kasus juga terdapat penerimaan peserta didik baru yang berusia tujuh tahun. Bidang studi yang diajarkan meliputi bahasa Filipina, bahasa Inggris, matematika, dan sains pada kelas tiga dan pada kelas empat sudah mulai terdapat beberapa bidang studi pilihan dan Makabayan (subjek yang berusaha mengembangkan apresiasi yang lebih dalam budaya, sejarah dan warisan Filipina, dan yang dapat secara luas digambarkan sebagai kewarganegaraan dan budaya, kesehatan dan sejarah). Peserta didik yang tidak membuat kemajuan yang cukup dengan hasil studi mereka di beberapa tahun pertama di sekolah dasar dapat diberikan dukungan berupa tugas perbaikan (remidi) dan mungkin akan diminta untuk mengulang kelas. Untuk ketentuan mengulang kelas yaitu apabila peserta didik memiliki nilai di bawah nilai kelulusan 75% dari standar yang ditetapkan. Namun Setelah berhasil menyelesaikan studi hingga kelas 6, peserta didik akan otomatis diberikan materi atau program perkembangan untuk melanjutkan jenjang yang lebih tinggi yaitu pada Sekolah Menengah Pertama (SMP), kecuali mereka bersekolah di sekolah swasta (atau sekolah dasar negeri tertentu) atau sekolah dengan kurikulum sekolah dasar tujuh tingkat atau mereka yang ingin melanjutkan sekolah ke  SMP swasta, maka mereka perlu menyelesaikan ujian masuk. Selama program sekolah dasar dan selama program sekolah menengah pertama, semua peserta didik baik di sekolah negeri atau swasta, diwajibkan mengikuti Tes Prestasi Nasional yang dikelola oleh departemen pendidikan, yang mana dilakukan oleh peserta didik di kelas 3, 6 dan 10. Untuk versi tes di kelas 3 membahas tentang kemahiran siswa dalam berbahasa Filipina dan bahasa Inggris, serta kemahirannya dibidang matematika dan sains. Kemudian untuk kelas 6 membahas tentang  kemahiran peserta didik dalam bahasa Filipina, bahasa Inggris, sains, matematika, dan penelitian sosial. Dan terakhir tes pada kelas 10 membahas tentang kemampuan peserta didik dalam berbahasa Filipina, bahasa Inggris, sains, matematika, studi sosial, dan pemikiran kritis. Nilai rata-rata yang ditetapkan sebagai standar tingkat penguasaan adalah 75%. Perlu dicatat bahwa dalam beberapa tahun terakhir, rata-rata nasional telah meningkat secara konsisten dan, meskipun masih di bawah level 75%, gerakan telah mendekati penguasaan.

4. Kebijakan Pendidikan di Kamboja
Kamboja dalam satu dekade terkahir telah banyak melakukan perbaikan di pendidikan. Namun, hal tersebut tidak mengubah posisi pendidikan kamboja kancah di dunia. Berdasarkan data yang didapat dari Welle (2019), Kamboja menempati peringkat 136 dengan skor EDI 0,495. Dengan tingkat kegagalan siswa sebesar 35,8% dan hanya terdapat 15,5% penduduk yang mengenyam pendidikan menengah.
Kamboja sebagai salah satu negara anggota ASEAN yang dapat dikatakan  paling tidak berkembang, memiliki tingkat pertumbuhan ekonomi tahunan yang cukup mengesankan sejak pertengahan 1990-an, namun dengan PDB per kapita rendah dan banyak penduduknya yang masih hidup di bawah garis kemiskinan serta hampir seluruh penduduknya berdomisili di daerah pedesaan. Dalam bidang pendidikan hal yang mengenai evaluasi kinerja sistem dan menentukan persyaratan sumber dayanya ditentukan oleh Kementerian Pendidikan, Pemuda dan Olahraga atau disini disebut dengan istilah (MOEYS) mengeluarkan peraturan yang relevan, untuk mengembangkan rencana strategis dan memonitor kinerja sistem. Rencana tersebut berfokus pada pembangunan strategis nasional telah untuk mengurangi kemiskinan dan pemerataan  gender, serta meningkatkan investasi riil dan membangun kapasitas kelembagaan dan manusia, yang bereformasi ekonomi dan memiliki pencapaian pertumbuhan ekonomi. Dalam kerangka ini dapat terwujud melalui Rencana Strategis Pendidikan lima tahun yang memandu perkembangannya secara spesifik. Hal tersebut berupaya memastikan bahwa agar semua anak dan remaja Kamboja memiliki kesempatan yang sama untuk akses ke pendidikan dasar, baik formal maupun informal, tanpa diskriminasi dengan alasan ras, warna kulit, jenis kelamin, bahasa, agama, afiliasi politik orang tua, tempat status kelahiran atau status sosial.
Disamping itu strategi lain yang memiliki prioritas pada tahun 2009 hingga 2013 adalah: memastikan akses yang setara ke layanan pendidikan; meningkatkan kualitas dan efisiensi layanan pendidikan; dan kelembagaan dan pengembangan kapasitas untuk staf pendidikan untuk desentralisasi. Berbeda dengan Brunei Darussalam, di Kamboja angka penduduk yang melek huruf tergolong jauh  dibawah rata-rata dari data indikator kinerja yang tersedia. Hambatan dan tantangan yang dihadapi oleh Kamboja dalam meningkatkan pendidikan yaitu kesetaraan gender dalam berpartisipasi, banyak anak laki-laki yang tampaknya lebih mungkin putus sekolah sebelum waktunya dan mereka juga banyak lebih cenderung mengulang nilai, adanya  perbedaan besar dalam proporsi guru sekolah dasar perempuan - di Phnom Penh, dibandingkan dengan di banyak provinsi yang lebih terpencil jumlahnya kurang dari sepertiganya, adanya perbedaan yang signifikan terkait dengan perbedaan antara kaya dan miskin sejauh mana kaum muda tetap berada dalam sistem pendidikan atau dapat menyelesaikan sekolah/pendidikannya. Oleh karena itu dalam upaya untuk mendapatkan indikator yang lebih andal tentang keefektifan sistem pendidikan, Pemerintah Kamboja telah memperkenalkan sistem pengujian kinerja di kelas 3, 6 dan 9 dengan berupaya menghindari distorsi ujian gerbang yang memanfaatkan pengambilan sampel skala kecil secara nasional dengan hasil anonim - yaitu, pengujian difokuskan pada sistem pendidikan secara keseluruhan daripada penampilan siswa secara individu. Hasil anekdotal menunjukkan bukti akan kebutuhan peningkatan kualitas di mana pejabat kementerian sekarang mengambil tindakan. Sehubungan dengan pelatihan guru, pemerintah sangat menyadari perlunya mengatasi masalah yang berkaitan untuk profesi guru. Ia telah mengisyaratkan niatnya untuk mengembangkan reformasi pembayaran berbasis kinerja.
Kemudian masalah tingkat gaji yang rendah untuk guru sangat perlu ditangani. Insentif untuk guru bersedia bekerja di sekolah di daerah terpencil dan etnis minoritas saat ini sedang ditangani oleh pemerintah.
Pendidikan Dasar di Kamboja disediakan untuk anak-anak berusia 6 hingga 11 tahun. Mulai dari tahun 2010 menuju tahun 2011 Kamboja telah melakukan tindakan dalam memajukan negaranya dibidang pendidikan yakni dengan memperluas penyediaan pendidikan dasar. Antara tahun 2005 sampai dengan tahun 2012 jumlah peserta didik yang ada di jenjang pendidikan dasar meningkat, yakni dari 91% menjadi 97% yang sebanding dengan rata-rata untuk negara-negara Anggota ASEAN.  Namun dalam hal ini juga terdapat kendala yaitu, menurut kebijakan yang ada di Kamboja anak-anak yang boleh mendaftar di Sekolah Dasar haruslah berusia 6 tahun, namun kenyataannya masih banyak sekitar 10% dari semua anak yang masuk sekolah dasar untuk pertama kalinya berusia lebih tua dari usia enam tahun. Kemudian masalah lainnya yaitu masih ada orang tua yang tidak mampu untuk terus mengirim anak-anak mereka ke sekolah walaupun telah diberlakukannya aturan tentang penghapusan biaya pada pendidikan jenjang sekolah dasar di tahun 2001.

5. Kebijakan Pendidikan di Laos
Berdasarkan data dari Welle (2019), Laos menempati peringkat 139 pendidikan dunia dan 9 di Asia Tenggara, dengan tingkat literasi penduduk dewasa Laos sebesar 72,7%. Sementara penduduk yang belum pernah mengenyam pendidikan formal mencapai 40%. Sehingga tingkat literasi yang dimiliki oleh Laos merupakan tergolong yang paling rendah.
Laos merupakan negara dengan tingkat pendapatan ekonomi menengah kebawah, yang mana dikarenakan menurut data Bank Dunia yang mengklasifikasikan ekonomi Laos sebagai 'pendapatan menengah ke bawah' karena PDB per kapita mencapai level $ 1.279 di tahun 2011 dengan proporsi penduduk yang hidup di bawah nasional garis kemiskinan, bagaimanapun, cukup tinggi pada 24% pada tahun 2011. Laos secara geografis merupakan negara besar yang mana besarnya lebih dari dua pertiga ukuran Vietnam dengan populasi yang relatif kecil (hanya 6,39) juta pada tahun 2011. Ia memiliki setidaknya 49 kebangsaan etnis yang berbeda. Kelompok etno-linguistik terbesar, menyumbang hampir 58% dari populasi, adalah Lao-Tai - ditemukan terutama di daerah ricegrowing subur dataran rendah di negara itu. Banyak dari negara ini bergunung-gunung, membuat pertanian dan komunikasi sulit. Keragaman etnis dari populasi, dalam kombinasi dengan keterpencilan dari beberapa komunitas, menimbulkan tantangan untuk pengiriman pendidikan dalam bahasa Lao. Untuk perekembangan pendidikan sendiri di negara Laos telah mengalami kemajuan sejak tahun 2009 dengan tingkat pendaftaran bersih pada sekolah dasar sebanyak 96,5%  yang sangat dekat bahkan lebih unggul 0,5% dibandingkan dengan rata-rata regional UNESCO yaitu 96% pada tahun 2011. Struktur sekolah umum Laos sesuai dengan pola 5-4-3, yaitu, lima tahun studi dasar, empat tahun studi menengah bawah, dan tiga tahun studi menengah atas. Sedangkan untuk angka melek huruf pada laki-laki dan perempuan yang berada pada rentang usia 15-24 tahun yaitu sebesar 77,4% untuk laki-laki dan 68,7% untuk perempuan. Dari data tersebut menunjukkan bahwa angka melek huruf di negara Laos masih tidak begitu tinggi jika dibandingkan dengan negara-negara lain di kawasan ASEAN.  Namun disisi lain negara Laos juga menunjukkan tantangan pada kesetaraan gender yang cukup signifikan. Yang mana pada kenyataannya terdapat kesenjangan antara laki-laki dengan perempuan dalam kebebasan menempuh pendidikan pada jenjang sekolah menengah. Disini, para perempuan banyak dirugikan dengan anggapan atau doktrin bahwa seorang perempuan terutama di daerah pedesaan lebih baik mempersiapkan diri berkontribusi untuk membina rumah tangga sejak usia dini.
Pendidikan dasar di Laos pada tahun 2012 s.d. 2013 terdapat 8.927 sekolah dasar, dengan jumlah peserta didik sebanyak 878.283 siswa yang mana  48% di antaranya adalah perempuan. Kenyataan pendidikan sekolah dasar yang ada di Laos diperkirakan 10% dari seluruh desa masih belum memiliki sekolah dasar. Dan hampir 57% dari semua sekolah dasar yang ada menawarkan sekolah dengan tingkat kelas yang tidak lengkap. Disamping itu, diperkirakan 70% dari sekolah dasar di kabupaten termiskin juga menawarkan sekolah dengan tingkat kelas yang tidak lengkap. Masalah di pendidikan dasar yang ada di Laos yaitu tingginya angka putus sekolah dan pengulangan kelas terutama di daerah pedesaan. Hal ini disebabkan faktor kelangsungan hidup mereka yang mana memengaruhi kondisi  fisik dan daya mereka agar dapat tetap melanjutkan sekolah. 

6. Kebijakan Pendidikan di Vietnam
Menurut data yang berasal dari Welle (2019), bahwa skor EDI saat ini yang tercatat oleh Vietnam yaitu sebesar 0,513 dengan tingkat literasi penduduk dewasa mencapai 93,5%. Vietnam dalam peringkat pendidikan di dunia menempati posisi ke 121 dengan kualitas pendidikan yang lebih rendah dari Irak dan Suriah.
Vietnam merupakan negara yang tingkat ekonominya tergolong sebagai berpenghasilan menengah ke bawah. Hal ini dilihat dari data oleh Bank dunia yang menyatakan tingkat PDB per kapita pada tahun 2011 adalah US $ 1.403. Sedangkan Proporsi penduduk negara Vietnam yaitu 87,84 juta pada tahun 2011 yang hidup di bawah garis kemiskinan nasional, angka tersebut merupakan angka yang sangat tinggi. Oleh karena itu, dalam konstitusi Vietnam menyebutkan bahwa pendidikan sebagai "kebijakan nasional yang terpenting". Dasar Huku Pendidikan di tahun 2005 menjelaskan bahwa pemerintah Vietnam memberikan persetujuan kepada setiap warga negara, tanpa memandang asal etnis, agama, kepercayaan, jenis kelamin, keluarga, latar belakang, status sosial atau kondisi ekonomi, dalam mendapatkan hak atas akses untuk mendapatkan kesempatan belajar yang sama. Prioritas negara Vietnam untuk sistem pendidikan diungkapkan dalam pernyataan strategi sepuluh tahun, seperti Strategi Pengembangan Pendidikan untuk 2011- 2020. Ungkapan tersebut memiliki tujuan yang cukup ambisius.
Dari data yang didapat menunjukkan tingkat melek huruf orang dewasa di Vietnam sebanyak 93,4% pada tahun 2011, yang mana angka tersebut sedikit di bawah rata-rata regional UNESCO dari 94,7% pada tahun 2011,143. Sedangkan tingkat melek huruf yang dicapai oleh kaum muda berusia 15 hingga 24 tahun sebanyak 97,5% untuk pria pada tahun 2011, dan 96,7% untuk perempuan.  Kemudian struktur sekolah umum di Vietnam menggunakan pola 5-4-3, yaitu, lima tahun studi dasar, empat tahun studi menengah bawah, dan dua tahun studi menengah atas. Disamping itu, pendidikan 'non-publik', memainkan peran yang sangat kecil dalam sistem sekolah Vietnam dan di sektor perguruan tinggi, sekitar 16% dari semua siswa terdaftar di universitas atau perguruan tinggi swasta. Proporsi ini adalah diperkirakan akan meningkat di tahun-tahun mendatang. Sedangkan untuk ketidaksetaraan berbasis gender yang ada di Vietnam umumnya tidak jelas sejauh menyangkut tingkat pendaftaran sekolah, kecuali di antara kelompok etnis minoritas tertentu yang mana dalam hal ini yang menjadi penghalang biasanya yaitu kelompok etnis minoritas tersebut cenderung dapat berbahasa daerahnya sendiri bukan bahasa nasional negara Vietnam dan juga disebabkan karena kondisi di wilayah geografis tertentu.
Masalah yang ada dalam bidang pendidikan di Vietnam yaitu adanya kesenjangan dalam partisipasi atau jumlah peserta didik di jenjang sekolah menengah yang berasal dari kelompok etnis minortitas ataupun kesenjangan yang ditinjau dari status sosial (masyarakat kaya dan masyarakat miskin). Disamping itu, Kebangsaan etnis Vietnam cenderung tinggal di bagian yang lebih terpencil dan bergunung-gunung di negara itu, sehingga lokasi geografis mereka menambah kesulitan menyediakan mereka dengan tingkat pendidikan yang memadai. Anak-anak tinggal di pegunungan daerah yang mungkin terburuk. Cuaca buruk dan jalan yang buruk dapat mengganggu kehadiran di sekolah. Sebagai mereka semakin tua, orang-orang muda dari daerah ini, terutama anak perempuan, mungkin diharuskan untuk menghabiskan lebih banyak waktu membantu di rumah. Angka partisipasi dalam pendidikan pra-sekolah dan menengah juga berbeda secara signifikan antara desa dan daerah perkotaan. Survei yang dilakukan pada tahun 2006 menemukan, misalnya, bahwa 75 persen anak-anak perkotaan menghadiri sekolah pra-sekolah, dibandingkan dengan hanya 51 persen anak-anak pedesaan. Berbagai kondisi berdampak pada tingkat ini. Orang tua di daerah pedesaan mungkin kurang menyadari nilai pendidikan yang lebih tinggi anak-anak mereka, dan tentu saja mereka cenderung berpenghasilan rendah. Daerah pedesaan juga lebih mungkin mengalami kekurangan guru yang berkualitas, terutama yang lebih muda dan yang baru saja berkualitas guru. Oleh karena itu, Pemerintah Vietnam dan Organisasi Bantuan Internasional lain ikut membantu dengan menyediakan lebih banyak beasiswa, membangun lebih banyak asrama sekolah, mendorong pembelajaran bahasa Vietnam, dan memberikan pengecualian biaya kuliah.
Pendidikan sekolah dasar di Vietnam menerima peserta didik baru pada usia enam tahun dan menyediakan lima tingkat kelas per satu tahun. Pendidikan sekolah dasar di Vietnam ini mengikuti kurikulum nasional dengan beberapa waktu yang tersedia untuk membahas materi pelajaran yang memuat nilai-nilai lokal. Namun sekolah dasar disini sangat disarankan untuk menawarkan pelatihan bahasa asing sebagai pilihan di kelas dasar pada tingkat kelas atas. Bahasa Inggris umumnya adalah bahasa yang dipilih pada tahun 2009 s.d. 2010, ada 15.172 sekolah dasar di Vietnam yang menyediakan total pendaftaran hingga 6,9 juta siswa dengan 47,3% di antaranya adalah perempuan.

7. Kebijakan Pendidikan di Myanmar
Myanmar merupakan salah satu negara di Asia Tenggara yang telah berpuluh-puluh tahun dalam cengkraman kekuasaan junta militer. Sekarang ini, Myanmar sedang membangun dan mengejar ketertinggalannya dalam pendidikan. Menurut data dari Welle (2019), Myanmar menempati urutan ke 150 dunia dengan skor EDI sebesar 0,371. Dan tercatat sebanyak 19% penduduk Myanmar yang pernah mengenyam pendidikan menengah.
Myanmar memiliki populasi lebih dari 61 juta dan memiliki daratan terbesar kedua di Asia Tenggara. Myanmar juga memiliki PDB per kapita sebesar US $ 875 pada tahun 2011. Dari seperempat populasi yang ada, sekitar 25,6% pada tahun 2011 masyarakat di Mayanmar terkena dampak serius akibat kemiskinan. Di Myanmar terdapat keragaman etnis dengan lebih dari 130 kebangsaan etnis yang berbeda, diantaranya meliputi: kelompok etnis Bamar terdapat sekitar 68% dari populasi, kelompok etnis lainnya yaitu Shan sebanyak 9%, Karen sebanyak 6%, dan Rakhine sebanyak 4%, semua etnis tersebut cenderung tinggal di daerah yang lebih terpencil dan di dataran tinggi. Kementerian Pendidikan Myamar bertanggung jawab atas penyediaan pendidikan dasar. Dua kementerian lain yang juga berperan adalah Kementerian Agama (yang bertanggung jawab atas sekolah monastik) dan Kementerian Urusan Perbatasan (sebagian bertanggung jawab atas sekolah di daerah terpencil).
Pada Februari 2012, Kementerian Pendidikan Myamar memprakarsai Tinjauan Sektor Pendidikan Komprehensif, yang tujuannya adalah untuk mempromosikan "masyarakat pembelajar yang mampu menghadapi tantangan zaman pengetahuan". Ulasan tersebut sudah memiliki nilai simbolis yang sangat besar karena memberi harapan bahwa setiap anak di Myanmar akan memiliki kesempatan untuk menyelesaikan pendidikan dasar yang berkualitas baik dan yang akan dihasilkannya yaitu rencana sektor pendidikan berbiaya setelah fase 3 untuk pengembangan pendidikan di Myanmar.
Tingkat melek huruf orang dewasa pada tahun 2011 di Myanmar sebanyak 95,01% berada di atas rata-rata regional UNESCO yang sebesar 94,7%. Dan tingkat melek huruf yang dicapai oleh kaum muda berusia 15 hingga 24 tahun pada tahun 2012 terdapat sebanyak 98,54% untuk pria dan 97,17% untuk wanita. Di Myanmar juga telah membangun sekolah baru sekitar 135 sekolah untuk sekolah menengah atas, 233 untuk sekolah menengah pertama dan 1025 untuk sekolah dasar. Serta perekrutan guru baru telah  di sekolah sebanyak 79 guru di sekolah menengah atas, 486 guru di sekolah menengah pertama dan 4122 guru di sekolah dasar. Struktur sekolah umum di Myanmar menggunakan pola 5-4-2, yaitu lima tahun primer, empat tahun menengah bawah (pertama), dan dua tahun menengah atas.
Pendidikan dasar di Myanmar pada tahun 2010 s.d. 2011 diperkirakan jumlah peserta didik yang mendaftar ke sekolah adalah  84,61% dan  menunjukkan bahwa tidak semua peserta didik yang sekolah tersebut dapat sampai berhasil menyelesaikan sekolah dasar, mereka hanya sampai  pada kelas 5. Hal tersebut dikarenakan terjadi kendala yang berhubungan dengan keterjangkauan biaya sekolah dan akses. Menjelang akhir tahun sekolah dasar, hanya sekitar 70% peserta didik yang mulai di sekolah dasar lima tahun yang sebelumnya tetap terdaftar. Namun sekitar 50% peserta didik yang bersekolah selama 6 tahun (kelas 6) yang masih bertahan atau masih terdaftar sebagai murid.  Kemudian terus berlanjut pada kelas 10 hanya sekitar 28,6% peserta didik yang dapat bertahan di sekolah dasar sebagai murid. Sedangkan antara kelas 10 dan kelas 11, dan pada tahun terakhir sekolah menengah hanya 23,9% dari peserta didik yang ada masih terdaftar sebagai.

8. Kebijakan Pendidikan di Thailand
Berdasarkan data pada Welle (2019), Thailand merupakan salah satu negara di Asia Tenggara yang memiliki anggaran pendidikan tertinggi yaitu sebesar 7,8% dari Produk Domestik Brutto. Saat ini negeri gajah putih sebutan akrab untuk negara Thailand menempati posisi 89 pendidikan terbaik di dunia dengan skor EDI sebesar 0,608 dan menempati peringkat ke empat pendidikan terbaik  di Asia Tenggara.
Thailand memiliki populasi penduduk sebanyak 67,6 juta pada tahun 2011. Pertumbuhan tingkat ekonomi Thailand selama dua dekade terakhir relatif kuat, yaitu dengan tingkat PDB per kapita pada 2011 adalah US $ 5.116 dan Bank Dunia mengklasifikasikan ekonominya sebagai 'pendapatan menengah ke atas'. Namun proporsi populasi masyarakatnya yang hidup di bawah garis kemiskinan nasional tetap sangat tinggi, yaitu 7,2% pada tahun 2011. Thailand didominasi hampir 95% sebagai negara dengan pemeluk agama Buddhis dan komunitas Muslim disana relatif kecil tapi khas (hampir 5%) tinggal terutama di provinsi selatan berdampingan dengan Malaysia. Sekitar 75% dari populasi penduduk yang ada di Thailand, terdapat 14%  etnis Cina dan 3% etnis Melayu serta terdapat kelompok etnis lain yang termasuk masyarakat yang tinggal di daerah dataran tinggi yang membentang ke Laos, Kamboja, dan Myanmar.
Konstitusi Thailand tahun 1997 menyatakan bahwa semua orang Thailand memiliki hak yang sama untuk menerima setidaknya 12 tahun pendidikan dasar yang berkualitas dan gratis. Undang-undang lain yang juga berkaitan dengan sistem pendidikan yaitu pada tahun 2008 terdapat promosi Undang-undang Pendidikan Non-Formal dan Informal dan Undang-undang Pendidikan Kejuruan.
Tingkat melek huruf orang dewasa di Thailand terdapat sebanyak 96,1% pada tahun 2010 sedikit di atas rata-rata regional UNESCO dari 94,7% pada tahun 2011 dan tingkat melek huruf yang sedang dicapai oleh kaum muda berusia 15 hingga 24 tahun sebanyak 96,4% untuk pria dan 96,3% untuk wanita. Struktur sekolah Thailand sesuai dengan pola 6-3-3, yaitu enam tahun primer, tiga tahun menengah bawah, dan tiga tahun studi menengah atas. Sejak tahun 2009, Kementrian Pendidikan Thailand telah melampaui persyaratan legislatif Thailand dengan menyediakan 15 tahun pendidikan dasar gratis, termasuk tiga tahun pendidikan pra-sekolah dasar. Durasi wajib belajar di Thailand adalah 9 tahun, yang  meliputi enam tahun sekolah dasar dan tiga tahun sekolah menengah pertama. Hasil PISA untuk tahun 2009, misalnya, menunjukkan bahwa sebagian besar siswa Thailand berada di bawah rata-rata OECD di bidang membaca, matematika dan sains ilmiah. Memang, “hampir setengahnya siswa Thailand tidak memiliki keterampilan membaca dan sains dasar; dan lebih dari setengahnya tidak memiliki dasar keterampilan matematika.
Kebijakan Menteri Pendidikan Thailand saat ini fokus pada reformasi pendidikan di enam bidang, yaitu: reformasi kurikulum; reformasi belajar-mengajar; pengujian, penilaian dan evaluasi peserta didik; sistem penerimaan universitas; evaluasi, akreditasi, dan promosi guru; dan penilaian lembaga pendidikan. Keenam bidang ini harus saling terkait dan fokus pada kualitas pelajar dan prestasi. Selanjutnya, evaluasi, akreditasi, dan promosi guru akan didasarkan pada kinerja dan prestasi siswa. Kesetaraan gender dalam hal akses menuju peluang pendidikan umumnya tidak menjadi tantangan yang signifikan untuk negara Thailand, di mana paritas gender ada di sebagian besar sistem sekolah, kecuali dalam hubungannya untuk mengulang nilai di sekolah dasar. Anak laki-laki dalam pendidikan dasar di Thailand jauh lebih banyak kemungkinan harus mengulang kelas daripada anak perempuan. Hal ini juga terbukti dalam pendidikan menengah. Anak laki-laki di Thailand juga lebih kecil kemungkinannya untuk melakukan transisi dari awal ke awal sekolah menengah. Oleh karena itu anak perempuan lebih mungkin daripada anak laki-laki untuk berpartisipasi dalam sekolah menengah. Bahkan dengan dana pinjaman siswa untuk membantu anak-anak dari keluarga miskin cenderung lebih kecil kemungkinannya anak-anak dari keluarga kaya  tetap ingin di sekolah untuk menyelesaikan pendidikan menengah atas, dan untuk melanjutkan ke pendidikan tinggi. Anak-anak paling tidak menyelesaikan pendidikan menengah atas termasuk anak-anak yang tinggal di daerah pedesaan yang terpencil, dari keluarga imigran, dan dari komunitas etnis di Timur Laut, Utara dan Selatan yang jauh.
Pendidikan sekolah dasar di Thailand telah melakukan reformasi kurikulum utama yakni pada delapan mata pelajaran inti, meliputi: bahasa Thailand, matematika, sains, ilmu sosial, kesehatan dan pendidikan jasmani, seni, karier dan teknologi, dan bahasa asing. Pendidikan sekolah dasar di Thailand adalah wajib, namun terdapat kendala bagi masyarakat yang tinggal di daerah pedesaan yang terpencil. Sehingga tingkat partisipasi masyarakat yang bersekolah pada jenjang sekolah dasar hanya 89,7% di tahun 2010. Disamping itu, beberapa kendala lainnya yaitu di Thailand kekurangan guru yang berkualitas dan terlatih, kemudian kurangnya insentif untuk guru yang unggul atau profesional (terutama mereka yang memiliki keahlian dalam sains, matematika dan bahasa Inggris) untuk bekerja di daerah terpencil di negara ini, dan kurangnya ketersediaan materi pembelajaran berkualitas tinggi, terutama materi yang bisa didapat dipekerjakan dengan dukungan dari layanan dan sumber daya Internet.

9. Kebijakan Pendidikan di Malaysia
Negara yang biasa disebut sebagai Negeri Jiran atau Malaysia menurut Welle (2019) menempati posisi ke 62 dalam daftar pendidikan terbaik dunia dan menduduki peringkat ke tiga pendidikan terbaik di ASEAN. Dalam Indeks Pendidikan UNDP, Malaysia memiliki skor sebesar 0,671. Hal ini didukung dengan tingkat literasi yang dimiliki penduduk dewasa Malaysia yang mencapai 94%. Dibalik kesuksesan tersebut, Malaysia memiliki tuntutan yang besar terhadap perguruan tinggi. Hali ini menggambarkan bahwa pertubuhan ekonomi negara yang cepat dan orang-orang Malaysia yang merasa penting terhadap pendidikan tinggi. Namun, tempat pendidikan tinggi yang tersedia dalam negeri tidak memenuhi kebutuhan, sehingga lebih 50% siswanya belajar diluar negeri. Menurut orang Malaysia pilihan untuk belajar diluar negeri terlalu mahal. Sementara itu, masalah muncul di universitas-universitas Australia yang terlalu percaya pada dana yang berasal dari pendidikan internasional. Untuk menurunkan biaya pendidikan, maka universitas di Australia melakukan kerjasama dengan sejumlah PT (swasta) Malaysia yang mana dilakukan dengan menerapkan  program kembar twinning. Mahasiswa dalam program ini kuliah setahun di Malaysia dan menyelesaikan sisa pendidikannya di Australia agar memenuhi kualifikasi Australia. Dengan program tersebut pemerintah Malaysia tidak perlu investasi dalam mengembangkan sistem pendidikan tinggi negeri selama masih memenuhi kebutuhan pembangunan ekonomi yang cepat dan beragam. Begitu pula Australia merasa diuntungkan dalam hal perluasan pasar pendidikannya.
Namun masalah baru muncul ketika hasil riset memberikan data  bahwa 70% mahasiswa yang mengikuti program ini berlatar belakang etnis China yang mana warga etnis China hanya 35% dari komposisi penduduk Malaysia. Sementara penduduk bumi putranya (muslim dan orang melayu) tidak maju. Di Malaysia mahasiswa yang belajar dan memperoleh gelar dari luar negeri memperoleh keuntungan yang tidak terduga dalam prospek kerjanya di lembaga atau perusahaan swasta, hal ini karena perusahaan swasta lebih tertarik dengan mahsaiswa yang lulusan luar negeri dengan kemampuan bahasa inggrisnya. Sedangkan keuntungan bagi mahasiswa yang belajar di dalam negeri prospek kerja bagi mereka yaitu di lembaga pemerintahan. Namun kenyataan yang terjadi para mahasiswa di Malaysia ingin belajar diluar negeri dengan anggapan bahwa gelar dari barat lebih berharga dan dibutuhkan oleh pasar kerja Malaysia maupun internasional. sehingga lebih dari ¾ mahasiswa memilih jurusan perdagangan, manajemen ekonomi, dan bisnis. Dimana hampir semua pekerjaan dibutuhkan. Dengan semakin majunya ekonomi Malaysia, maka Malaysia menjadi global dan pendidikan internasional menjadi lebih menarik terutama bagi mahasiswa yang membutuhkan pendidikan.
Dilema yang dihadapi Malaysia adalah kepentingan ekonomi melalui pendidikan swasta internasional dan kepetingan pembangunan bangsa melalui pembangunan sektor pendidikan negeri. Pasar tenaga kerja Malaysia ingin tetap memenuhi tuntutan ekonomi global, tetapi tidak ingin tradisi bangsa hilang. Oleh karena itu dalam waktu yang bersamaan Malaysia membangun pendidikan swasta di dalam negerinya. Begitu pula kebijakan pendidikan tingginya dibangun sesuia dengan kebutuhan globalisasi. Kebijakannya ditujukan pada dua fokus kebijakan yaitu pembangunan SDM untuk keutuhan Malaysia dalam kancah globalisasi dan memberikan kebebasan dengan adanya peluang bagi sektor swasta dalam pendidikan. Semula kebijakan penggunaan bahasa Malaysia sebagai pengantarnya, tetapi sekarang diberikan kebebasan dengan pengantar bahasa Inggris (Fattah, 2013).
Sistem sekolah dasar di Malaysia hampir seluruhnya bersifat publik, tanpa adanya biaya yang harus dikeluarkan untuk sekolah. sistem sekolah secara keseluruhan hampir seluruhnya merupakan sistem publik. Pada tahun 2011, hanya 3% dari seluruh peserta didik yang berusia 7 tahun hingga 17 tahun terdaftar di sekolah swasta, dengan dua kategori yaitu sekolah nasional yang menyediakan 75% dari semua siswa sekolah dasar, dengan sekolah nasional yang terdapat berbahasa Mandarin atau Tamil-medium. Namun dari macam-macam sekolah tersebut seluruh sekolah dasar harus mengajarkan Bahasa Malaysia dan Bahasa Inggris, dan seluruh sekolah harus mengikuti silabus yang sama untuk mata pelajaran non-bahasa, apa pun bahasa yang digunakan sebagai pedoman. Hal tersebut dikarenakan adanya kritikan yang mana adanya stereotipe yang mengatakan dengan adanya macam-macam sekolah tersebut mengakibatkan pemisahan pendidikan dasar ke dalam beberapa kategori dapat  berkontribusi terhadap polarisasi etnis sejak usia dini. Dengan demikian sistem penilaian yang berlaku di Malaysia yang mana menentukan apakah peserta didik dapat melanjutkan ke jenjang sekolah yang lebih tinggi yaitu dengan adanya Penilaian Sekolah Dasar yang ditetapkan secara nasional dengan salah satu objek yang diuji terdapat Bahasa Malaysia disamping Bahasa Inggris, Matematika, dan Sains.

10. Kebijakan Pendidikan di Singapura
Berikut adalah sistem kebijakan pendidikan di Singapura.

Gambar 1 Lanskap Pendidikan di Singapura
    Sumber: Rajvaramethi , dkk. (2017: 29).

From figure 1 showed that students taking the mainstream curriculum in Pathlight School will sit for the PSLE, and may also sit for the N- or OLevel exams. Specialized schools offer customized programs for students who are inclined towards hands-on and practical learning. Some also offer N (T) - Level exams. These schools are Northlight School, Assumption Pathway School, Crest Secondary School and Spectra Secondary School. Specialized Independent Schools offer specialized education catering to students with talents and strong interests in specific fields, such as the arts, sports, mathematics and science, and applied learning. These schools are the School of the Arts, Singapore Sports School, National University of Singapore (NUS) High School of Mathematics and Science, and the School of Science and Technology. Eligible students of the Singapore Sports School can progress directly to Republic Polytechnic. Eligible students of the School of the Arts can pursue a diploma program at the Nanyang Academy of Fine Arts via special admissions after their fourth year of study. Alternative Qualifications refer to qualifications not traditionally offered at mainstream schools in Singapore. Dari gambar 1 diatas dapat diketahui sistem/kebijakan pendidikan di Singapura  menunjukkan bahwa siswa mengambil kurikulum arus utama di Pathlight School akan mengikuti PSLE, dan mungkin juga mengikuti ujian N- atau OLevel (Rajvaramethi, etc: 2017).

Singapura memiliki sistem pendidikan yang kuat dan para siswanya memiliki cita-cita yang tinggi dan mendapatkan hasil serta penghargaan yang sangat baik. Hal Ini diakui di seluruh dunia. Singapura punya sekolah dengan akreditasi yang baik, dan pemimpin sekolah serta guru-guru yang cakap, dan fasilitas yang memadai di antara yang terbaik di dunia. Sistem ini mencoba untuk membangun kekuatan dalam mempersiapkan generasi penerus Singapura di masa yang akan datang. Hal ini adalah masa depan yang mana dapat membawa peluang yang luar biasa terutama di Asia, tetapi juga akan membawa banyak perubahan yang tidak dapat diprediksi pada hari ini. Tugas sekolah dan lembaga tersier adalah untuk memberi kaum muda kesempatan dalam  mengembangkan keterampilan, karakter, dan nilai-nilai yang akan memungkinkan mereka untuk terus berbuat baik dan merebut Singapura sebagai negara yang maju di masa depan. Berdasarkan data pada Welle (2019), saat ini Singapura menduduki peringkat ke sembilan dalam Indeks Pendidikan UNESCO dengan skor 0,768. Pada tahun 2013 silam, Singapura tercatat hanya terdapat 1,3% siswa yang tidak dapat menuntaskan pendidikan.
Dalam beberapa tahun terakhir, Singapura bergerak menuju sistem pendidikan yang lebih fleksibel dan beragam dan bertujuan untuk memberikan siswa pilihan yang lebih baik dalam memenuhi minat dan cara belajar mereka yang berbeda. Mereka akan dapat memilih apa dan bagaimana mereka belajar dan akan mendorong mereka untuk mengambil tanggung jawab yang lebih besar dalam pembelajaran mereka. Pendidikan umum berguna untuk memastikan bahwa siswa telah mendapatkan beragam atau seluruh kebutuhan perkembangan holistic di dalam dan di luar kelas. Pendekatan-pendekatan dalam pendidikan ini akan memungkinkan penyedia pendidikan untuk mengurus dengan mudah berbagai keterampilan yang berbeda yang dimiliki oleh para siswa dalam memenuhi kebutuhan mereka di masa yang akan datang. Sistem kebijakan di Singapura juga menyediakan pada setiap anak menemukan bakatnya sendiri dan tumbuh serta berkembang dari sekolah yang yakin akan kemampuannya. Siswa akan didorong untuk mengikuti hasrat mereka, dan mempromosikan keanekaragaman bakat di antara mereka di bidang akademik, olahraga dan karya seni.
Kurikulum dan instruksi di Singapura sangat memotivasi negara-negara lain dalam membuat suatu kebijakan pendidikan. Hal ini dikarenakan dalam hal belajar-mengajar, siswa Singapura akan terdorong untuk bertanya dan mencari jawaban, mau berpikir tentang inovasi atau cara baru, memecahkan masalah baru dan menciptakan peluang baru di masa depan. Kurikulum tersebut memiliki kemungkinan dalam menghadapi tantangan dengan masalah sosial, seperti sosial emosi dan pelajar yang lambat. Sedangkan penilaian tugas fokus pada kualitas pemahaman siswa dan cenderung mendorong guru untuk merancang tugas instruksional. Ini dapat memberikan banyak peluang dalam belajar dan dapat mendorong pekerjaan serta  pengetahuan siswa menjadi berkualitas tinggi dan pembelajaran dapat lebih mendalam. Sebagai tambahan, siswa di Singapura juga dilatih sama pentingnya untuk membangun satu set suara nilai-nilai, sehingga mereka memiliki kekuatan karakter dan ketahanan untuk menghadapi kehidupan dan kemunduran yang tak terhindarkan tanpa harus berkecil hati. Hasilnya, mereka memiliki kemauan untuk bekerja keras untuk mencapai impian mereka.
Kurikulum sekolah dasar di Singapura disampaikan dalam dua tahap. Yang pertama adalah sebuah yayasan tahap (kelas 1 hingga 4), dan yang kedua adalah tahap orientasi (kelas 5 dan 6). Setelah selesai dari tahap orientasi, peserta didik duduk untuk ujian nasional, Meninggalkan Sekolah Dasar Pemeriksaan (PSLE). Pemeriksaan ini berguna untuk menilai kinerja siswa di empat mata pelajaran, yakni: Bahasa Inggris, Bahasa Ibu Bahasa, Matematika, dan Sains. Peserta didik memilih sekolah menengah mereka berdasarkan pada skor PSLE ​​mereka. Fokus mengajar di tingkat sekolah dasar adalah membantu peserta didik untuk memperoleh nilai-nilai yang tinggi dan keterampilan hidup dasar, serta untuk mengembangkan fondasi bahasa dan keterampilan berhitung. Peserta didik belajar tiga mata pelajaran inti, yaitu: Bahasa Inggris, yang kedua bahasa (bahasa ibu mereka) dan yang ketiga yaitu matematika. Mereka juga belajar seni, kewarganegaraan dan pendidikan moral, musik, studi sosial dan pendidikan jasmani. Ilmu pengetahuan sebagai suatu bidang studi tidak diperkenalkan sampai kelas 3. Di tahap orientasi sekolah dasar, mereka mempelajari mata pelajaran di salah satu yayasan atau tingkat standar, tergantung pada kecepatan yang cocok bagi mereka dalam mempelajari. Sekolah dasa disini pada umumnya menyediakan program pendukung pembelajaran untuk anak-anak di tahun-tahun awal yang mengalami kesulitan dalam menyesuaikan diri dengan sekolah formal. Disampint itu, juga tersedia program untuk membantu anak-anak yang berbakat intelektual.

11. Kebijakan Pendidikan di Timor Leste
Timor Leste merupakan salah satu negara di kawasan Asia Tenggara dan baru bergabung dengan Perserikatan Bangsa-Bangsa Asia Tenggara pada tahun 2012. Tingkat populasi penduduk di negara ini mencapai 1,185 juta jiwa serta memiliki PDB per kapita sebesar $ 1,442 milyar. Jumlah PDB per kapita yang tergolong rendah pada suatu negara menyebabkan kurangnya kesejahteraan pada masyarakat terutama untuk memperoleh kesempatan pendidikan yang berkualitas. Namun, hal tersebut tidak menyurutkan semangat dan komitmen dari pemerintah untuk terus meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan mengembangkan pendidikan. Dengan pendidikan yang berkualitas diharapkan masyarakat dapat ikut serta berpartisipasi untuk mengembangkan ekonomi, sosial dan politik di negara tersebut.  Menurut Global Partnership for Education (2018) menyatakan bahwa dalam 5 tahun, tingkat pastisipasi murni tumbuh mencapai 16% yaitu dari 67% menjadi 83% dan kesenjangan gender menurun secara signifikan. Disisi lain, pendidikan Timor Leste masih menghadapi beberapa tantangan. Yaitu angka putus sekolah dan pengulangan masih cukup tinggi, sementara itu banyak anak yang memulai sekolah pada usia yang kurang tepat.
Menurut Wardiqa (2017), mengungkapkan bahwa Rencana Strategis Pendidikan Nasioanl 2011-2030 memiliki tujuan yaitu untuk mencapai penyelesaian secara universal mengenai pendidikan dasar, menghilangkan angka buta huruf, dan memastikan kesetaraan gender melalui program prioritas, strategis, dan kegiatan di pendidikan baik pada pendidikan anak usia dini, dasar, menengah, tinggi, maupun berulang. Berdasarkan data dari Global Partnership for Education (2018) menjelaskan bahwa, program GPE (Global Partnership for Education) yang diterima oleh Timor Leste sebesar $ 2,5 juta, anggaran ini difokuskan pada penguatan kapasitas sistem pendidikan. Lebih lanjut, program ini bermanfaat untuk para staf kementerian pendidikan yang bertujuan memberikan manfaat bagi para siswa dan guru dalam sistem pendidikan yang dilaksanakan. Program GPE ini dipimpin oleh kementerian pendidikan dengan Bank Dunia sebagai agen pemberi dana bantuan dan UNICEF sebagai koodinator. Tujuan dari diadakannya program GPE yaitu untuk memberikan bantuan pendanaan bagi negara-negara yang berpenghasilan rendah guna mencapai tujuan MDG, khususnya mengupayakan kepada anak-anak agar mendapatkan kesempatan untuk mengakses pendidikan terutama pada pendidikan dasar pada tahun 2015. Menurut Ms Bellamy dalam Kementerian PPN/Bappenas (2012) menyatakan bahwa, terdapat beberapa negara berpendapatan rendah yang menjadi target program GPE diantaranya yaitu Kamboja, Nepal, Mongolia, dan Timor Leste.
Ahelin (2016) menyatakan bahwa, UNICEF mendukung Kementerian Pendidikan dan Olahraga untuk mengebangkan pendidikan Timor Leste. Pengembangan ini dilakukan dengan cara pembuatan Undang-Undang Dasar Pendidikan (2008), Undang-Undang Pendidikan Dasar (2010), Kerangka Kebijakan Nasional untuk pendidikan Pra-sekolah (2014), Pedoman WASH in School (2016), dan Kebijakan Pendidikan Inklusif (2017). Untuk menyetarakan pendidikan, timor Leste menerapkan model pra-sekolah berkelanjutan yaitu model penyampaian alternative untuk program pembelajaran awal yang bertujuan untuk membantu anak-anak didaerah terpencil sehingga dapat memperoleh pendidikan yang berkualitas. Sedangkan pendekatan yang digunakan Timor Leste untuk mengembangkan pendidikannya yaitu dengan menggunakan pendekatan sekolah ramah anak yang biasa dikenal secara lokal “Eskola Foun” atau “sekolah baru”. Pendekatan ini mempromosikan mengenai pembelajaran yang berpusat pada anak., meningkatkan manajemen sekolah, linkungan sekolah yang nyaman, partisipasi aktif orang tua dan masyarakat di sekolah , pentingnya fasilitas air, sanitasi dan kebersihan yang aman, peka gender dan berkelanjutan di sekolah.

Kedudukan dan Kondisi Pendidikan Indonesia di Kancah ASEAN
Berdasarkan data diatas, dapat dikatakan bahwa mutu pendidikan di Indonesia masih tertinggal dengan negara tentangga seperti Singapura, Brunei Darussalam, Malaysia, dan Thailand. Maka dari itu, perlu adanya perbaikan yang dilakukan oleh pemerintah baik dari segi layanan maupun mutu dari pendidikan itu sendiri. Sebab, jika pemerintah tidak segera membenahi sektor pendidikan maka secara langsung maupun tidak tidak langsung akan berimbas pada perkembang sektor lainnya. Karena pendidikan merupakan faktor utama dalam menentukan martabat dan peradaban suatu bangsa menjadi lebih maju.
Mutu pendidikan merupakan kemampuan sekolah dalam mengelola komponen-komponen yang ada sehingga dapat mencapai tujuan sekolah secara efektif dan efisien. Sedangkan pendidikan yang bermutu adalah sekolah dapat menghasilkan lulusan yang berkualitas ditandai dengan memiliki kemampuan atau potensi, baik potensi akademik maupun kejuruan yang berlandaskan pada ilmu, iman, dan akhlak yang seluruhnya merupakan kecakapan hidup. Untuk mencapai pendidikan yang bermutu, pendidikan di Indonesia masih mengalami problema-problema. Menurut Fadhillah & Hermawan (2017) mengungkapkan bahwa terdapat tujuh permasalahan pendidikan di Indonesia yang harus diselesaikan oleh pemerintah untuk mewujudkan Nawacita dalam bidang pendidikan berdasarkan JPPI (Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia), yaitu:
1.      Nasib program wajib belajar (wajar) 12 tahun. Program ini masih berada di persimpangan jalan. Alasannya yaitu program ini masih belum memiliki dasar hukum yang je las, sehingga tidak ada yang dapat mendorong untuk mewujudkan program tersebut.
2.      Angka putus sekolah dari jenjang SMP ke SMA mengalami kenaikan. Hal tersebut dipicu marak terjadinya pungutan liar di jenjang SMA. Banyak kabupaten/kota yang sebelumnya mengratiskan jenjang SMA, kini mulai resah karena banyaknya provinsi lain yang membolehkan penarikan iuran dan SPP untuk menutupi kekurangan anggaran pendidikan. Menurut A. Ubaid Matraji dalam Fadhillah (2017) menyatakan bahwa, alih wewenang pengelolaan jenjang sekolah menengah belum dapat menjawab kebutuhan wajib belajar 12 tahun. Namun, hal ini justru menimbulkan permasalahan baru bagi pendidikan di Indonesia.
3.      Pendidikan agama di sekolah. Pendidikan agama islam yang diajarkan di sekolah perlu adanya dilakukan evaluasi baik dari metode pengajaranannya maupun dari guru yang mengajarkannya. Berdasarkan penelitian Pusat Pengkajian Islam dan Masyarakat UIN Jakarta dalam Fadhillah (2017) mengungkapkan bahwa, terdapat 78% guru Pendidikan Agama Islam (PAI) setuju jika pemerintah berdasarkan syariat islam dan 77% guru PAI di sekolah mendukung organisasi-organisasi yang memperjuangkan syariat islam. Jika hal tersebut terus menerus dibiarkan dapat mengancam keutuhan NKRI yang telah dibangun bertahun-tahun yang lalu. Serta dapat menimbulkan rasa intoleran dan sikap radikal beragama yang tumbuh subur di sekolah.
4.      Lemahnya pengakuan negara atas pendidikan pesantren dan madrasah (diniyah). Kurang diakuinya pendidikan pesantren karena tidak sejalan dengan kurikulum nasional yang telah ditetapkan. Padahal peran pendidikan pesantren ini sangat begitu besar jauh sebelum Indonesia merdeka, namun sekarang peran pesantren termarginalkan karena alasan tersebut. Serta belakangan ini banyak kekerasan yang mengatas namakan agama, SARA, dan benih-benih radikalisme tumbuh semakin subur. Hal tersebut, dipicu karena pendidikan agama yang diajarkan di sekolah belumlah cukup untuk menjawab gejolak perbedaan paham agama yang semakin kuat. Maka dari itu, sekolah perlu melakukan kerjasama dengan lembaga pesantren dan madrasah diniyah guna meningkatkan pemahaman siswa akan agama secara komprehensif (tafaqquh fiddin), yang bervisi pada rahmatan lil alamin.
5.      Kartu Indonesia Pintar (KIP). Pendistribusian KIP haruslah tepat sasaran dan tepat waktu. Pendistribusian yang lambat, alokasi yang kurang akurat, dan banyaknya terjadi penyelewengan anggaran sehingga menghambat pengimplementasian program tersebut. Tidak hanya KIP tetapi juga program BOS dan BSM yang telah digulirkan pemerintah masih belum berjalan secara maksimal. Sebab, masih ada banyak anak-anak usia sekolah yang putus atau tidak melanjutkan sekolah. Anak-anak tersebut didominasi oleh kelompok masyarakat miskin dan anak-anak yang memiliki kebutuhan khusus. Dalam hal ini anak-anak kesulitas dalam mengakses pendidikan terutama pada anak kebutuhan khusus. Khusus untuk difabel, mereka terkendala dengan menemukan sekolah inklusi. Pada akhirnya, mereka harus bersekolah dengan teman yang senasib dan menjadikannya lebih terekslusi dari realitas sosial.
6.      Kekerasan dan pungutan liar di sekolah. Potret wajah pendidikan di Indonesia masih diwarnai dengan adanya kasus kekerasan dan pungaduan pungli. Komponen yang ada disekolah meliputi guru dan siswa, dimana satu sama lain saling berperan ganda. Artinya bahwa, masing-masing dari mereka dapat berperan sebagai pelaku dan dapat berperan juga sebagai korban. Penerapan sekolah ramah anakpun sangat penting untuk direvitalisasi. Namun, disisi lain fakta bahwa pungutan liar tidak dapat dikelndalikan terutama pada sekolah-sekolah negeri yang seharusnya bebas dari pungutan.
7.      Ketidaksesuaian antara dunia pendidikan dan dunia kerja. Ketidaksesuaian antara dunia pendidikan dan dunia kerja merupakan masalah yang hingga sekarang masih belum juga terselesaikan. Lulusan yang dihasilkan oleh sekolah belum dapat menjawab kebutuhan konsumsi industri yang siap pakai, hal ini menyebabkan banyaknya angkatan kerja yang masih belum mempunyai pekerjaan. Saat ini angkatan kerja yang belum mempunyai pekerjaan mencapai lebih dari tujuh juta angkatan kerja. Disaat yang sama pula, perusahaan kesulitan dalam merekrut tenaga kerja yang terampil, hal ini dipengaruhi oleh terbatasnya tenaga kerja terampil yang tersedia. Maka dari itu, perbaikan dan penyempurnaan kurikulum yang dilakukan haruslah dapat menjawab permasalahan tersebut.
Dari permasalahan-permasalahan tersebut terdapat solusi-solusi yang dapat diberikan untuk menyelesaikannya, menurut Didno (2015) diantaranya yaitu:
1.      Pemerintah perlu meninjau ulang mengegai penerapan kurikulum 2013.
2.      Perlunya penambahan pendidikan moral dan keagamaan mulai dari SD sampai perguruan tinggi.
3.      Mengadakan kegiatan pelatihan kepada seluruh guru di Indonesia oleh pemerintah guna meningkatkan kualitas dan kompetensi guru.
4.      Pemberian tunjangan pendidikan oleh pemerintah haruslah adil dan tepat dengan sasaran.
5.      Pemerintah haruslah mengkaji ulang mata pelajaran yang diajarkan di sekolah yang mengacu pada kebutuhan masa depan baik  bagi siswa sendiri maupun bagi kebutuhan lapangan pekerjaan.
6.       Peran serta partisipasi dari orang tua sangat dibutuhkan untuk perkembangan dan kemajuan pendidikan.
Sementara itu, menurut Widodo (2015:306) mengungkapkan bahwa masalah-masalah pendidikan yang ada, meliputi: (1) rendahnya sarana fisik; (2) kualitas guru; (3) kesejahteraan guru; (4) prestasi siswa; (5) rendahnya kesempatan pemerataan pendidikan; (6) relevansi pendidikan dengan kebutuhan; (7) mahalnya biaya pendidikan. Sedangkan solusi yang dapat ditawarkan untuk menyelesaikan masalah tersebut yaitu: (1) pemerintah dapat mengawasi alur penyaluran dana BOS yang diberikan ke sekolah, sehingga dana yang disalurkan sesui dengan sasaran; (2) guru diberikan pelatihan-pelatihan maupun workshop guna meningkatkan kompetensi yang dimilikinya; (3) pemerintah dalam memberikan kesejahteraan guru haruslah adil dan seimbang dengan jasa yang diberikan guru dalam mengembangkan pendidikan, sehingga guru akan bersemangat jika antara kesejahteraan dan jasa yang diberikan seimbang ; (4) adanya perbaikan mutu pendidikan dan layanan pendidikan oleh pemerintah serta menerapkan kurikulum K-13 yang berbasis scientific approach; (5) upaya yang telah dilakukan oleh pemerintah saat ini yaitu dengan memberikan BSM dan KIP bagi masyarakat kurang mampu, namun pemerintah juga perlu mengawasi dalam pendistribusian program tersebut apakah sudah memenuhi sasaran ataukah belum; (6) memberikan bekal keterampilan pada siswa sehingga ketika siswa sudah lulus keterampilannya dapat terserap secara langsung oleh DUDI.
Jadi, dalam meningkatkan mutu dan layanan pendidikan perlu adanya kerjasama antara pemerintah dengan masyarakat. Jika masyarakat dan pemerintah dapat bekerjasama secara baik maka perkembangan pendidikan untuk mencapai pendidikan yang bermutu bukanlah hanya sebuah cita-cita saja, namun dapat terealisasikan. Maka dari itu selain pemerintah seluruh komponen masyarakat haruslah turut serta berpartisipasi dalam meningkatkan mutu pendidikan. Sehingga Indonesia tidak hanya dikenal sebagai sasaran atau pangsa pasar yang menggiurkan saja bagi negara-negara maju, melainkan dapat ikut serta sebagai pelaku utama dalam ajang pasar dunia.

Fungsi Kerjasama ASEAN di Bidang Pendidikan (SEAMEO) dan Dampak yang Dapat Dirasakan bagi Negara Indonesia
Kerjasama antara negara-negara di ASEAN sangatlah memberikan dampak positif bagi para anggotanya tak terkecuali kerjasama dalam bidang pendidikan. Hal tersebut dikarenakan pendidikan dinilai memainkan peran penting dalam mempersempit kesenjangan pembangunan di kawasan ASEAN. Bukti kerjasama ASEAN dalam bidang pendidikan yaitu dengan digalakkannya Rencana Kerja 5-Tahun ASEAN tentang Pendidikan (2011-2015) yang terdapat lima prioritas diantaranya yaitu (1) Mempromosikan kesadaran ASEAN, yang mana kesadaran akan ASEAN secara khusus ditanamkan dengan baik melalui kurikulum di sekolah khususnya di sekolah dasar; (2) Meningkatkan akses ke pendidikan dasar dan menengah yang berkualitas; (3) Meningkatkan kualitas pendidikan - standar kinerja, pembelajaran seumur hidup dan pengembangan profesional; (4) Mobilitas lintas batas dan internasionalisasi pendidikan; dan (5) Dukungan untuk badan sektoral lainnya dengan minat pendidikan.
Disamping itu terdapat pula kebijakan bidang pendidikan dikawasan ASEAN terhimpun dalam satu lembaga organisasi yang biasa disebut dengan SEAMEO atau Southeast Asian Ministers of Education Organization. SEAMEO adalah kunci dari stakeholder dalam dunia pendidikan atau pemangku kepentingan pendidikan utama di ASEAN. Dewan pengurusnya terdiri atas sebelas Menteri Pendidikan dari masing-masing Negara Anggota ASEAN, diantaranya  Brunei Darussalam, Kamboja, Indonesia, Laos, Malaysia, Myanmar, Filipina, Singapura, Thailand, Timor Leste, dan Vietnam. Dalam praktiknya, mereka merupakan pemangku kepentingan utama (stakeholder utama) di ASEAN dan memberikan kontribusi yang signifikan untuk pencapaian aspirasi ASEAN. SEAMEO telah ada sejak tahun 1965. Di bidang pendidikan, bidang-bidang prioritas SEAMEO diantaranya keterampilan abad ke-21; pengembangan profesional berkelanjutan untuk guru dan tenaga kependidikan; pendidikan untuk Semua; pendidikan untuk pembangunan berkelanjutan; pendidikan yang lebih tinggi; dan pengoptimalan penerapan strategi pembelajaran TVET (Technical and Vocational Education and Training). SEAMEO memiliki 20 Pusat Regional yang berfokus pada pendidikan, ilmu pengetahuan dan budaya. Serta dua belas di antaranya berfokus pada pengembangan pendidikan. Pusat Regional SEAMEO yang pertama yaitu tentang Inovasi Pendidikan dan Teknologi yang berada di Filipina; kemudian Pusat Regional SEAMEO untuk Pendidikan dan Pengembangan Tinggi (SEAMEO Regional Centre for Higher Education and Development) berada di Thailand; Pusat Regional SEAMEO tentang Pendidikan Sains dan Matematika (SEAMEO Regional Centre on Science and Mathematics Education) di Malaysia; selanjutnya Pusat Pelatihan Regional SEAMEO (SEAMEO Regional Training Centre) di VietNam; Pusat Regional SEAMEO tentang Pendidikan Teknis dan Kejuruan (SEAMEO Regional Centre on Technical and Vocational Education) di Brunei Darussalam; Pusat Bahasa Regional SEAMEO (SEAMEO Regional Language Centre) di Singapura dan Singapura tiga Pusat Regional SEAMEO untuk Peningkatan Kualitas Guru dan Tenaga Kependidikan dalam Sains, Bahasa dan Matematika di Indonesia. Semua Pusat SEAMEO tersebut melayani para anggota/ negara-negara ASEAN, dan bahkan lebih jauh lagi (diluar negara-negara di kawasan ASEAN).  Disamping itu SEAMEO juga memiliki sepuluh proyek yang sedang dibangun dan diimplementasikan untuk mengatasi masalah akses, kesetaraan dan kualitas pendidikan sebagai kantong peserta didik yang membutuhkan yang berada di Asia Tenggara. Kelompok-kelompok yang menjadi sasaran adalah mereka yang difabel yang ingin mendapatkan kesempatan belajar, mereka yang berada pada kumpulan masyarakat di daerah terpencil, anak-anak perempuan dan wanita, anak-anak usia pra sekolah, anak-anak yang terkena dampak dan terinfeksi penyakit HIV dan AIDS, anak-anak yang terkena dampak bencana alam, siswa yang berpotensi memiliki risiko putus sekolah dan lainnya.
Melalui SEAMEO RIHED,  SEAMEO telah menerapkan Program Mobilitas Mahasiswa itu membahas persyaratan untuk membangun mobilitas siswa yang berkelanjutan di seluruh kelompok sukarelawan universitas di Malaysia, Thailand, dan Indonesia. Proyek mengidentifikasi hambatan-hambatan berikut untuk mobilitas siswa: kesulitan merekrut siswa dan mempromosikan studi ke luar negeri kepada siswa, berbeda kalender akademik dan kesulitan mencocokkan semester yang saling bertentangan, masalah bahasa, kurangnya kejelasan dan fleksibilitas dalam transfer kredit, dan kebutuhan akan kerangka kerja penjaminan kualitas regional untuk memastikan harmonisasi yang konsisten antar program.
Dari penjelasan tersebut dapat diketahui berbagai fungsi dari kerjasama negara-negara di kawasan ASEAN di bidang pendidikan. Secara khusus peran dan manfaat  SEAMEO dalam bekerjasama dibidang pendidikan dengan negara Indonesia yaitu SEAMEO secara bersama-sama dengan negara Indonesia ikut  membantu membuka akses dan meningkatkan kualitas pendidikan ke seluruh daerah, termasuk indonesia. Sedangkan secara regional di kawasan Asia Tenggara dilansir dari berita Media Indonesia menginformasikan bahwa Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia (Kemendikbud RI) bekerja sama dengan Sekretariat Southeast Asian Ministers of Education Organization (SEAMEO) menyelenggarakan Seminar Internasional yang mengangkat tema 'Agenda Pendidikan SEAMEO untuk Asia Tenggara yang Berkelanjutan', di Kuta Bali. Dimana seminar tersebut membahas tentang agenda pendidikan SEAMEO yang menghasilkan tujuh agenda/area prioritas pada  2015-2035. Tujuh agenda/area prioritas yang dibahas dalam seminar tersebut adalah mempromosikan pendidikan universal bagi anak usia dini; mengatasi hambatan inklusi; mempromosikan ketahanan dalam menghadapi keadaan darurat; mempromosikan pendidikan pelatihan teknis dan kejuruan; revitalisasi pendidikan guru; harmonisasi pendidikan tinggi dan peneliti, serta; mengadopsi kurikulum abad ke-21. Seminar tersebut dilakukan dengan cara saling bertukar informasi tentang pendidikan di masing-masing negara, kemudian berbagi pengalaman baik dalam menghadapi problem yang dihadapi. Dengan seminar tersebut diharapan dapat meningkatkan kesadaran regional dan program nasional, serta rencana aksi yang dihasilkan dari sinergi dinamis, kekuatan, strategi, dan standar yang dikembangkan oleh negara-negara anggota SEAMEO.
Rencana aksi tersebut mengarah pada pengembangan paradigma pembelajaran yang inovatif dan kebijakan pendidikan yang proaktif dalam mempromosikan tujuan pembangunan berkelanjutan dan agenda pendidikan SEAMEO.
Selain itu, untuk menyebarluaskan pemahaman regional tentang pendidikan, perlu adanya komitmen untuk aksi bersama, hubungan timbal balik atau kerja sama  yang lebih erat di antara aktor pendidikan dan pemangku kepentingan di Asia Tenggara dalam memajukan kualitas pembelajaran serta memastikan akses yang lebih luas dan menyeluruh terhadap pendidikan di wilayah tersebut.

KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan
            Pendidikan merupakan hal yang sangat penting bagi suatu bangsa, terutama dalam memajukan dan mengembangkan peradaban suatu bangsa. Negara-negara ASEAN menyadari bahwa pentingnya pendidikan untuk mengembangkan persaingan di kancah global. Dengan hal itu, perlu adanya kerjasama antar negara-negara diwilayah ASEAN terutama dalam bidang pendidikan. Untuk menciptakan pendidikan yang bermutu tinggi dan menghasilkan SDM yang berkualitas, maka diperlukannya pembuatan kebijakan, khusunya pada sektor pendidikan. Kebijakan itu sendiri seperti pemerataan pendidikan di negara-negara berkembang, penyediaan tenaga profesioanl yang memumpuni, dan ketersediaan sarana dan prasarana yang memadai.  Serta ketersediaan SDM yang berkualitas akan dapat menjawab semua permasalahan yang tengah terjadi di masyarakat secara profesional dan dapat terselesaikan sesuai dengan yang diharapkan. Namun, dalam pelaksanaannya terdapat kendala atau problema yang harus dihadapi oleh pembuat kebijakan pendidikan diantaranya yaitu problema dalam pengambilan kebijakan, problema yang dihadapi oleh perencana pendidikan, dan problema yang dihadapi oleh administrator pendidikan.
            Kebijakan yang diterapkan pada sektor pendidikan disetiap negara memiliki sistem kebijakan yang berbeda-beda. Meskipun di kawasan negara ASEAN telah ada ketentuan kurikulum yang diberikan, yang bertujuan untuk menyetarakan mutu pendidikan di wilayah negara-negara ASEAN. Kualitas pendidikan di wilayah ASEAN selama ini masih belum mencapai hasil yang merata terutama pada tingkat kualitas. Disini pendidikan yang mencapai tingkat kualitas tinggi  dan mampu bersaing dengan negara-negara maju, terutama pada negara-negara barat dipegang oleh Singapura. Selain itu, masih terdapat negara-negara di wilayah ASEAN yang belum dapat bersaing dengan negara-negara lain dikancah global. Kurang dapatnya terimplementasinya kurikulum yang telah disepakati, karena adanya beberapa hal yang mendasarinya, diantaranya yaitu: adanya perbedaan budaya, sistem politik, dan demografi dari tiap-tiap negara yang ada. Hal ini merupakan faktor penghambat kurang meratanya kualitas pendidikan yang ada di wilayah negara ASEAN.
           
Saran
            Berdasarkan pada penelitian yang telah penulis lakukan, dapat diberikan beberapa saran mengenai kebijakan pendidikan pada kawasan negara-negara ASEAN, diantaranya yaitu: meningkatkan kerjasama antar negara ASEAN pada bidang pendidikan yang berorientasi pada pendidikan tinggi yang bersektor pada penelitian dan inovasi pada bidang pendidikan dan ilmu pengetahuan; mengadakan pelatihan dan juga pendidikan lanjut untuk meningkatkan profesionalisme tenaga pendidik; mengadakan studi komperatif terhadap sekolah-sekolah yang maju dan berkualitas baik; meningkatkan materi yang ajarkan berdasarkan kurikulum yang berlaku; meningkatkan sarana pembelajaran guna mencapai kualitas pendidikan yang bermutu; keterbukaan pendidikan antar negara di ASEAN guna memudahkan berkembangnya suatu pendidikan.

DAFTAR RUJUKAN
Ahelin. 2016. Quality Education: Realising Rights to Quality Education for All Children. Unicef. (Online), (https://www.unicef.org/timorleste/quality-education), diakses 05 April 2019.
Baedhowi. 2009. Kebijakan Otonomi Daerah Bidang Pendidikan: Konsep Dasar dan Implementasi. Semarang: Pelita Insani.
Berse, P.P. 2018. Harmonizing Higher Education at the Regional Level The Case of ASEAN and the Philippines. International Journal of Higher Education, 7(5), 44-53. Dari https://files.eric.ed.gov/fulltext/EJ1191732.pdf.
Welle, D. 2019. Rangking Pendidikan Negara-Negara ASEAN. (Online), (https://www.dw.com/id/rangking-pendidikan-negara-negara-asean/g-37594464), diakses 08 April 2019.
Didno. 2015. Solusi Permasalahan Pendidikan Indonesia. Kompasiana. (Online), (https://www.kompasiana.com/didno76/54f766eaa3331164368b4764/solusi-permasalahan-pendidikan-indonesia), diakses 04 April 2019.
Fadhillah, U. N. 2017. Ini Tujuh Masalah Pendidikan di Indonesia Menurut JPPI. Republika.co.id. (Online), (https://republika.co.id/berita/pendidikan/eduaction/opchjr354/ini-tujuh-masalah-pendidikan-di-indonesia-menurut-jppi), diakses 09 April 2019.
Fattah, N. 2013. Analisis Kebijakan Pendidikan. Bandung: PT Remaja Rosdakarya.
Global Partnership for Education. 2018. Timor Leste. (Online), (https://www.globalpartnership.org/country/timor-leste), diakses 05 April 2019.
Imron, A. 2008. Kebijaksanaan Pendidikan di Indonesia: Proses, Produk, dan Masa Depannya. Jakarta: PT Bumi Aksara.
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia Tahun 2016 tentang Gerakan Literasi untuk Tumbuhkan Budaya Literasi. Jendela Kemendikbud (online), (https://jendela.kemdikbud.go.id/home/downloadfile/?name=EDISI_6_ 20161.pdf.), diakses 17 Maret 2019.
Kementerian PPN/Bappenas. 2012. GPE Belajar dari Indonesia. (Online), (https://www.bappenas.go.id/id/berita-dan-siaran-pers/features/gpe-belajar--dari-indonesia/) , diakses 05 April 2019.
Murdaningsih, Dwi. 2015. Ini Tantangan Tingkat Sistem Pendidikan di ASEAN. Republika.co.id. (Online), (https://www.republika.co.id/berita/pendidikan/dunia-kampus/ntl591368/ini-tantangan-tingkatan-sistem%20-pendidikan-di-asean), diakses 04 April 2019.
Rajvaramethi, P., Rodkhunmuang, P. T. D., Dan Klomkul, L. 2017. Educational Management in Asean Community: A Case Study of Education in Singapore. Journal of Buddhist Education and Research, 3(1), 24-34. Dari  http://www.ojs.mcu.ac.th/index.php/ijbe/article/download/2815/2106
Suyahman. 2016. Analisis Kebijakan Pendidikan Gratis di Sekolah Menengah Atas dalam Kaitannya dengan Kualitas Pendidikan Menengah Atas. Jurnal Pendidikan Kewarganegaraan, 6(2), 1047-1054. Dari https://www.neliti.com/id/publications/120772/analisis-kebijakan-pendidikan-gratis-di-sekolah-menengah-atas-dalam-kaitannya-de.
Undang-undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. 2000. Jakarta: Depdiknas.
Wardiqa, R.E. 2017. Upaya Southeast Asian Minister of Education (SEAMEO) dalam Meningkatkan Mutu Pendidikan di Asia Tenggara pada Era ASEAN Economic Community. (Online), (http://repository.unej.ac.id/handle/123456789/83261), diakses 04 April 2019.
Widodo, H. 2015. Potret Pendidikan di Indonesia dan Kesiapannya dalam Menghadapi Masyarakat Ekonomi Asia (MEA). Jurnal Cendekia. (Online), (http://jurnal.iainponorogo.ac.id/index.php/cendekia/article/download/250/220), diakses 04 April 2019.






3 komentar:

  1. Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.

    BalasHapus
  2. Saya telah berpikir bahwa semua perusahaan pinjaman online curang sampai saya bertemu dengan perusahaan pinjaman Suzan yang meminjamkan uang tanpa membayar lebih dulu.

    Nama saya Amisha, saya ingin menggunakan media ini untuk memperingatkan orang-orang yang mencari pinjaman internet di Asia dan di seluruh dunia untuk berhati-hati, karena mereka menipu dan meminjamkan pinjaman palsu di internet.

    Saya ingin membagikan kesaksian saya tentang bagaimana seorang teman membawa saya ke pemberi pinjaman asli, setelah itu saya scammed oleh beberapa kreditor di internet. Saya hampir kehilangan harapan sampai saya bertemu kreditur terpercaya ini bernama perusahaan Suzan investment. Perusahaan suzan meminjamkan pinjaman tanpa jaminan sebesar 600 juta rupiah (Rp600.000.000) dalam waktu kurang dari 48 jam tanpa tekanan.

    Saya sangat terkejut dan senang menerima pinjaman saya. Saya berjanji bahwa saya akan berbagi kabar baik sehingga orang bisa mendapatkan pinjaman mudah tanpa stres. Jadi jika Anda memerlukan pinjaman, hubungi mereka melalui email: (Suzaninvestment@gmail.com) Anda tidak akan kecewa mendapatkan pinjaman jika memenuhi persyaratan.

    Anda juga bisa menghubungi saya: (Ammisha1213@gmail.com) jika Anda memerlukan bantuan atau informasi lebih lanjut

    BalasHapus
  3. Terima kasih,mudah-mudahan tambah keberkahan untuk semua pihak,Aamiin

    BalasHapus

Visitor Counter

Popular Posts

Buku Tamu


Ingin Widget ini ?
Klik di sini

Comment

About

3/random/post-list
Copyright © Lentera Pendidikan | Powered by Blogger
Design by Viva Themes | Blogger Theme by NewBloggerThemes.com