KEBIJAKAN PENDIDIKAN DI KAWASAN ASEAN
(Problematika, Kedudukan, dan Fungsi
Kerjasama Pendidikan di Kawasan ASEAN bagi Indonesia)
Dehfi Yuhwaningsih
Kholifatul Khoiria
Jurusan
Administrasi Pendidikan Fakultas Ilmu Pendidikan
Universitas Negeri Malang, Jalan Semarang No. 05 Kota
Malang 65145
Abstrak: Tujuan penelitian ini yaitu untuk mengetahui kebijakan pendidikan di kawasan ASEAN. Penelitian ini menggunakan metode literatur. Pengumpulan data diperoleh dari study literatur dari beberapa referensi yang didapat sebagai dasar penyusunan artikel. Hasil penelitian menunjukkan: (1) perkembangan pendidikan negara kawasan ASEAN; (2) problematika kebijakan pendidikan yang ada di kawasan ASEAN; (3) gambaran kebijakan pendidikan di negara kawasan ASEAN; (4) kedudukan dan kondisi pendidikan indonesia di kancah ASEAN; (5) fungsi kerjasama ASEAN di bidang pendidikan (SEAMEO) dan dampak yang dirasakan bagi negara Indonesia.
Kata Kunci: kebijakan
pendidikan, kerjasama, ASEAN
Kebijakan pendidikan pada
tiap-tiap negara tentunya berbeda-beda, hal ini di sesuaikan dengan nilai-nilai
masyarakat maupun budaya atau bahkan kebiasaan pada negara tersebut sebagai
salah satu bentuk dari pada ciri khas yang ditonjolkan pada masing-masing
negara. Hal ini juga sesuai dengan
definisi dari pada analisis kebijakan. Menurut Fattah (2013:11) menyatakan
bahwa “para ahli dalam membuat rumusan analisis kebijakan pendidikan berbeda-beda
sesuai dengan sudut pandang masing-masing. Namun, rumusan yang baik mencakup
proses, metode dan teknik, dan prosedur untuk memecahkan masalah pendidikan.”
Kebijakan pendidikan yang dibuat pada masing-masing negara tentunya memiliki
fungsi dan tujuan masing-masing. Seperti halnya di Indonesia kebijakan
pendidikan didasarkan pada tujuan dan cita-cita bangsa seperti yang terdapat
dalam pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 alinea keempat. Dan secara detail
terdapat dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 tentang
Sistem Pendidikan Nasional. Disamping
tujuan dan fungsi, kebijakan pendidikan yang dibuat di masing-masing negara
berguna untuk mengatasi problematika-problematika yang ada.
Indonesia sebagai salah
satu negara yang berada di kawasan ASEAN mengalami perubahan yang dinamis dalam
membuat kebijakan didunia pendidikan seperti halnya kebijakan pendidikan di
Indonesia yang semula sentralisasi menjadi desentralisasi, atau banyak juga
yang menyebut bahwa hal ini adalah sebagai bentuk dari pada era pendidikan
reformasi di Indonesia yang tertuang dalam konteks politik pendidikan otonomi
daerah, dengan kata lain kebijakan pendidikan dengan menerapkan otonomi daerah
merupakan suatu solusi dalam mengatasi problematika pendidikan yang ada di
Indonesia. Kebijakan pemerintah tersebut dibuat dengan tujuan agar dapat
meningkatkan kualitas pendidikan di Indonesia yang mencakup seluruh substansi
manajemen pendidikan. Menurut Baedhowi (2009:74) mengatakan bahwa membangun
sistem otonomi daerah di bidang pendidikan memerlukan waktu yang cukup lama
dengan proses yang bertahap dan berkesinambungan terutama bagi pelaksana dalam
memahami secara komprehensif tentang otonomi daerah bidang pendidikan. Namun
keutungan yang didapat bagi negara yang menerapkan sistem kebijakan otonomi
daerah di bidang pendidikan cenderung dapat mencapai keberhasilan, karena
secara tidak langsung hal tersebut merupakan uji coba dengan cakupan dan
kedalaman (wewenang dan tanggung jawab) yang disesuaikan dengan daerah masing-masing
dalam mengembangkan lebih lanjut kualitas pendidikan. Disamping itu, Baedhowi
juga menjelaskan bahwa faktor-faktor yang memengaruhi proses implementasi
otonomi daerah bidang pendidikan, antara lain: komitmen pemerintah dan
pemerintah daerah untuk sungguh-sungguh melaksanakan otonomi daerah bidang
pendidikan yang menjadi kewenangan masing-masing, kemampuan sumber daya manusia
dalam melaksanakan kebijakan, dukungan dana pendidikan yang memadai, dan
penyelenggaraan administrasi yang transparan dan akuntabel baik terhadap organisasi
maupun publik. Kebijakan atas otonomi daerah tersebut didasarkan pada Undang-Undang
Nomor 22 Tahun 1999 yang kemudian disempurnakan dengan Undang-Undang Nomor 32
Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Peran pemerintah terhadap kebijakan otonomi daerah juga disebutkan
secara singkat dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003
tentang Sistem Pendidikan Nasional yaitu pada Bab XIV mengenai pengelolaan
pendidikan pasal 50 ayat (2) yang menyatakan bahwa “Pemerintah menentukan
kebijakan nasional dan standar nasional pendidikan untuk menjamin mutu
pendidikan nasional.” Dan pada ayat selanjutnya menjelaskan tentang kebijakan
pendidikan di perguruan tinggi yakni pada ayat (6) yang menyatakan bahwa
“Perguruan tinggi menentukan kebijakan dan memiliki otonomi dalam mengelola
pendidikan di lembaganya.”Dalam hal ini dapat diketahui bahwa bentuk dari peran
pemerintah daerah dalam kebijakan pendidikan sesuai dengan otonomi daerah
tampak pada kebijakan yang terdapat pada sekolah dasar hingga sekolah menegah, pemerintah
pusat memberlakukan suatu kebijakan dan pemerintah daerah dalam memilih atau
menyesuaikan untuk menerapkan kebijakan tersebut, misalnya dalam hal kurikulum
pada sekolah dasar ataupun sekolah menengah masih diberikan kebebasan untuk
tidak mengikuti kurikulum nasional yaitu kurikulum 2013 pada saat awal
pemberlakukan kurikulum tersebut dengan alasan ketidaksiapan masing-masing
sekolah yang ditinjau dari kesiapan tenaga pendidik ataupun kurang mendukungnya
sarana dan prasarana yang ada di sekolah disuatu daerah. Sedangkan untuk
perguruan tinggi pengelolaan lembaga pendidikannya memiliki kebebasan yang
lebih dominan dengan diatur oleh kementrian riset, teknologi, dan pendidikan
tinggi.
Disisi lain, adanya
kebijakan pendidikan bukan hanya didasarkan atas karakteristik negara
masing-masing namun juga sebagai akibat dari pengaruh persaingan global yang
tidak hanya memengaruhi satu aspek kemajuan teknologi tetapi juga banyak aspek
dalam kaitannya dengan aspek ekonomi, politik pemerintahan, maupun
sosial-budaya yang dapat memengaruhi konsep pendidikan di suatu negara di
seluruh dunia, tak terkecuali negara-negara di kawasan ASEAN. Dewasa ini,
banyak tulisan tentang konteks global dan retorika tentang keharusan global dan
menjadi resep kebijakan, misalkan tentang studi bahasa dan budaya Asia,
komputer di sekolah-sekolah, reformasi pemerintahan hingga peningkatan
partisipasi di perguruan tinggi. Disamping itu, pada era globalisasi saat ini
kurang lebih memiliki pengaruh pada kebijakan pendidikan diseluruh dunia yang
mana gobalisasi menitikberatkan pada ciri-ciri suatu bangsa. Oleh karena itu,
hal tersebut menjadi tantangan oleh masing-masing negara di seluruh dunia dalam
memajukan pendidikan dengan tetap melestarikan warisan budaya dan nilai-nilai
luhur yang dimiliki pada masing-masing negara. Maka dari itu, munculnnya
globalisasi sebagai suatu ide/gagasan perlu diseleksi dalam penerimaannya
dengan hati-hati oleh masyarakat pada masing-masing negara dalam hal hubungan
antara satu negara dengan yang lain.
Menurut Hernes (2003:7)
dalam Fattah (2013: 141-142) menyatakan bahwa sedikitnya ada tujuh tantangan
global yang dihadapi oleh pendidikan, yaitu sebagai berikut: (1) Mengurangi
kesenjangan dalam pemerataan pendidikan; (2) Mengukuhkan hubungan yang lebih
baik antara pendidikan dan ekonomi setempat (lokal), dan antara pendidikan
dengan dunia kerja yang mengglobal; (3) Mencegah berkembangnya peran dari riset
dan pendidikan yang dikendalikan oleh pasar dan melebarnya kesenjangan
teknologi dan ilmu pengetahuan diantara negara industry dan negara berkembang;
(4) Menjamin bahwa persyaratan riset negara berkembang menerima perhatian dan
ditujukan oleh ilmuwan dan sarjananya; (5) Mengurangi dampak negatif dari brain
drain dari negara miskin ke negara kaya dan dari wilayah tertinggal ke wilayah
maju, sebagai pasar untuk siswa yang juga mengglobal; (6) Mengarahkan dampak
dari prinsip-prinsip pemasaran dan perubahan peran dari negara terhadap
pendidikan dan membantu perencanaan dan manajemen pendidikan; (7) Menggunakan
sistem pendidikan tidak hanya untuk memindahkan batang tubuh keilmuan secara
umum, tetapi melestarikan berbagai warisan budaya dunia, bahasa seni, gaya
hidup di dunia yang semakin menjadi homogen.
Dari penjelasan diatas sudah
dapat diketahui bahwa peran penting kebijakan pendidikan tidak dapat terelakkan
lagi. Suatu negara membutuhkan kebijakan guna mencapai tujuan bersama dengan
menyelaraskannya pada nilai-nilai luhur di negara tersebut. Analisis kebijakan
pendidikan menggambarkan bagaimana negara merencanakan dan menuju pada
prioritas pendidikan, kemudian analisis tersebut dijelaskan oleh adanya
faktor-faktor global yang sekarang berpengaruh pada lembaga negara dan
pilihan-pilihan kebijakannya. Oleh karenanya analisis kebijakan juga berguna
sebagai alat dalam mengatur sistem pendidikan atau dapat pula dikatakan dapat
berguna untuk memberi batasan-batasan terhadap pengaruh negatif dari
globalisasi. Menurut Suyahman (2016:1047) Analisis kebijakan merupakan suatu prosedur
berfikir yang sudah lama dikenal dan dilakukan dalam sejarah manusia. Sedangkan
analisis kebijakan pendidikan adalah prosedur untuk menghasilkan informasi
kependidikan, dengan menggunakan data sebagai salah satu masukan bagi perumusan
beberapa alternatif kebijakan dalam pengambilan keputusan yang bersifat politis
dalam rangka memecahkan masalah kependidikan.
METODE
Metode
yang digunakan dalam penulisan artikel ini yaitu dengan menggunakan metode
literatur. Metode literatur merupakan cara menghimpun sumber-sumber teori referensi
yang berhubungan atau relevan dengan topik yang akan dibahas. Referensi yang didapat
melalui studi literatur dapat berupa artikel, jurnal, internet dan berbagai
macam buku/pustaka. Sumber-sumber tersebut digunakan sebagai dasar dalam
penyusunan artikel. Literatur juga memiliki arti yang sama dengan literasi,
menurut Kemendikbud tahun 2016 tentang Gerakan Literasi untuk Tumbuhkan Budaya
Literasi menjelaskkan berbagai macam definisi literasi sesuai dengan jenisnya
yang diantaranya ada literasi baca tulis hitung (calistung), literasi sains, literasi Teknologi Informasi dan
Komunikasi (TIK), literasi budaya, literasi keuangan, dan literasi
kewarganegaraan. Pada dasarnya literasi memiliki arti suatu cara manusia dalam
mengakses sesuatu sehingga mengakibatkan adanya kemampuan dalam mengetahui,
memahami, serta menggunakan sesuatu secara cerdas melalui berbagai aktivitas seperti
melihat, membaca, mendengarkan, menyimak, menulis, dan berbicara.
PEMBAHASAN
Perkembangan
Pendidikan Negara Kawasan ASEAN
Negara
ASEAN merupakan kawasan wilayah negara berkembang yang memerlukan perubahan
pada sektor-sektor yang dimilikinya guna meningkatkan daya saing di negara-negara
ASEAN dengan negara lain secara global. Pada saat ini negara-negara ASEAN
gencar melakukan peningkatan pada beberapa sektor terutama pada sektor
pendidikan. Dengan meningkatnya pada sektor pendidikan maka diharapkan akan
berimbas juga pada sektor-sektor lainnya karena dengan adanya pendidikan yang
berkualitas akan menciptakan SDM yang baik serta dapat bersaing dan berkembang
untuk membangun negara yang lebih maju. Untuk mencapai hal tersebut negara
ASEAN memiliki daya saing yang bagus dalam persaingan dunia baik secara
regional maupun secara global.
Negara-negara di ASEAN
melakukan kerjasama pada sektor pendidikan yang ditandai dengan adanya Cha-Am Hua Hin Declaration On Strengthening
Cooperation On Education To Achieve An Asean Caring And Sharing Community pada
KTT ASEAN ke-15 di Hua Hin, Thailand pada tanggal 23-25 Oktober 2009. Dengan
adanya kerjasama tersebut diharapkan dapat meningkatkan kualitas pendidikan dan
dapat menciptakan kualitas SDM yang unggul dan profesional. Sehingga dengan
adanya kualitas SDM yang unggul dapat memecahkan atau menjawab problem-problema
yang ada di masyarakat baik problema mengenai kependudukan maupun pendidikan.
Menurut
Imron (2008:104) menyatakan bahwa terdapat problema-problema yang ada di bidang
kebijakan pendidikan meliputi problema pengambil kebijakan, problema yang
dihadapi oleh perencana pendidikan, dan problema spesifik yang dihadapi oleh
administrator pendidikan. Sehingga dari sini dapat diketahui bahwa para aktor
pembuat kebijakan haruslah memperhatikan instrumen-instrumen dalam perumusan
kebijakan untuk meminimalisir adanya problema yang dihadapi actor dalam
pembuatan kebijakan.
Problematika-Problematika
Kebijakan Pendidikan yang Ada di Kawasan ASEAN
Kebijakan merupakan
petunjuk teknis pelaksanaan program yang akan dilaksanakan agar dapat berjalan
secara lancar sehingga dapat mencapai tujuan yang telah ditetapkan. Namun,
kebijakan-kebijakan yang dijalankan tidaklah terus berjalan secara mulus,
tetapi juga mengalami kendala-kendala, begitu pula kebijakan yang diterapkan
dalam sektor pendidikan. Di tingkat ASEAN kebijakan yang telah diterapkan untuk
meningkatkan kualitas pendidikan yaitu dengan menerapkan kurikulum
berstandarkan ASEAN. Jadi kurikulum yang diterapkan diseluruh negara kawasan
Asia Tenggara yaitu berdasarkan kurikulum yang telah ditetapkan oleh ASEAN.
Namun, dalam implikasinya cara penyampaian kurikulum disetiap negara
berbeda-beda. Hal ini dipengaruhi oleh adanya perbedaan budaya, ideologi, dan
sistem politik yang ada di masing-masing negara. Selain itu sistem pendidikan
yang digunakan dalam pembelajaran juga dapat mempengaruhi kualitas pendidikan
yang dihasilkan.
Di
ASEAN setiap negara memiliki sistem pendidikan masing-masing yang diterapkan
dalam pembelajaran. Sistem pendidikan yang berbeda-beda inilah yang membuat kualitas
pendidikan di ASEAN terdapat ketidakseimbangan. Sebab dalam satu kawasan
regional terdapat pendidikan dengan kualitas yang sangat bagus, namun disisi
lain terdapat juga negara yang kualitas pendidikannya masih rendah. Setara
dengan pernyataan yang diungkapkan oleh Direktur Utama ASEAN University Network
(AUN) Nantana Gajaseni dalam Murdaningsih (2015), bahwa yang menjadi
kendala terbesar dalam meningkatkan kualitas pendidikan di Asia Tenggara yaitu
ada banyaknya perbedaan dalam sistem pendidikan di banyak negara terutama
ASEAN. Lebih lanjut Nantana dalam Murdaningsih (2015) menyatakan bahwa,
terdapat 7.446 perguruan tinggi memiliki sistem pendidikan yang berbeda. Dari
10 negara yang ada di ASEAN dengan jumlah perbedaan sistem pendidikan yang
begitu besar, dapat nilai bahwa hal ini yang menyebabkan kendala dalam
meningkatkan kualitas pendidikan ASEAN di kancah dunia. selain itu, tantangan
lainnya adalah keberagaman kemampuan dan ketersediaan fasilitas lokal di setiap
masing-masing negara yang berbeda-beda. Sehingga menyebabkan mahasiswa luar
negara ASEAN kurang termotivasi untuk belajar di perguruan tinggi yang berada
di kawasan ASEAN.
Disamping itu, terdapat pula
problematika-problematika yang secara spesifik diklasifikasikan berdasarkan
pada hal-hal sebagai berikut:
1.
Problema Pengambil Kebijakan
Ada beberapa
problema yang harus dihadapi oleh pengambil kebijakan pendidikan di kawasan
negara-negara ASEAN, diantaranya yaitu:
- Demokratisasi
Pendidikan
Sejak
diadakannya deklarasi Karachi Plan pada tahun 1960, demokratisasi pendidikan
untuk negara-negara kurang mengalami perkembangan dan kemajuan yang baik. Dapat
diperkirakan bahwa secara global masih banyak terdapat orang yang mengalami
buta huruf. Pada orang dewasa yang mengalami buta huruf sekitar 814 juta orang,
sedangkan pada anak-anak usia sekolah ada sekitar 123 juta yang tidak
bersekolah.
- Keadilan
Pendidikan
Keadilan
sendiri disini masih diperdebatkan karena keadilan bagaimanakah yang
dimaksudkan adil dalam konteks keadilan pendidikan ini oleh semua kalangan
pihak. Keadilan atau ketidakadilan pendidikan dapat diindikasikan dari belum
samanya kesempatan yang diberikan serta kurang dimanfaatkannya dengan baik.
Misalnya anak-anak yang ada perkotaan lebih mendapatkan pendidikan yang baik
dan bermutu daripada anak-anak yang berada dipedesaan yang mengalami kekurangan
baik dari segi fisilitas, sarana dan prasarana serta tenaga profesional
pendidikan. Sehingga hal tersebut mempengaruhi hasil atau output dari lulusan yang
dibentuk.
- Efisiensi
Efisiensi
merupakan masalah yang sangat krusial bagi negara berkembang. Karena
keterbatasan sumber daya yang dimiliki baik sumber daya manusia yang
profesional maupun sumber daya lainnya. Di negara berkembang kurang dapat
menggunakan sumber daya secara efisien ke dalam perumusan, perencanaa, dan
pembuatan kebijakan pendidikan. Telah banyak dilakukan eksperimentasi mengenai
problema efisiensi, tetapi tidak ditemukan bahwa persoalan efisiensi ini bisa
dipecahkan sesuai dengan yang diharapkan.
- Masalah
Relevansi
Seperti
saat ini dunia mengalami perubahan dan perkembangan yang sangat pesat sehingga
manusia dituntut untuk meningkatkan aspirasi dan harapan yang tinggi sehingga
dapat mencapai perubahan. Problema relevansi pendidikan dengan ketersediaan
lapangan pekerjaan merupakan masalah utama yang masih belum terselesaikan. Oleh
karena itu, penyusunan program-program yang berkaitan dengan lapangan pekerjaan
dipandang begitu mendesak. Solusi yang dapat diambil bagi pembuat kebijakan
yaitu dengan adanya pendidikan kewirausahaan dapat membuka lapangan pekerjaan
bagi mereka yang belum mendapatkan pekerjaan.
2.
Problema yang Dihadapi oleh Perencana Pendidikan
Pada
pendidikan tingkat mikro, para perencana pendidikan umumnya dihadapkan pada
permasalahan yang spesifik akibat dari adanya permasalahan-permasalahan pokok
sebelumnya, yaitu:
- Pemilihan
Model Penyampaian
Pemilihan model penyampaian haruslah yang sesuai
dengan pelaksanaan pendidikan saat ini. Hal ini berkaitan dengan problema
demokratisasi pendidikan, keadilan pendidikan, efisiensi, dan relevansi pendidikan.
Sistem pendidikan formal dan non
formal untuk memecahkan suatu permasalahan pendidikan masih menjadi persoalan,
karena sulit untuk menentukan mana yang seharusnya untuk dipilih. Maka dari itu
negara-negara di kawasan ASEAN menggunakan keduanya baik secara sendiri-sendiri
atau konvergensi. Model penyampaian yang telah digunakan yaitu secara
konvensional dan modern, namun sayangnya belum dilakukan evaluasi secara
sistematis dan menyeluruh yang dapat ditentukan mana yang lebih efektif dan
efisien.
Selain itu, ada juga masalah yang
terkait dengan model penyampaian yaitu masalah inovasi dan teknologi
pendidikan. Penelitian yang sudah sistematis dalam permasalahan ini membantu
menjelaskan isu-isu dan masalah-masalah dalam penerapan model penyampaian yang
berbeda. Seperti yang diselenggarakan oleh INNOTECH yaitu sekolah pamong (Instructional Management by Parent,
Community and Teacher) dan RIT (Reduced
Instructional Time) yang telah dilakukan di Thailand, yang berusaha
mengembangkan model penyampaian pengajaran yang efektif dan efisien.
Setiap perencana pendidikan haruslah
menempatkan perhatian pada pencapaian tujuan dari sistem tersebut tetapi tetap
memerhatikan standar pada rancangan sistem baik di lingkungan lokal maupun di
lingkungan nasional. Seperti halnya sistem pengajaran yang dikembangkan, proyek
lain juga perlu dilihat keefektivitasnya dengan berpedoman pada pencapaian
tujuan pendidikan nasional.
Penemuan alat-alat baru terutama
alat produksi agar membuat pekerjaan menjadi lebih efisisen dan inovasi dalam
ilmu pengetahuan sangat dipengaruhi dengan adanya ketersediaan keuangan.
Seperti halnya negara miskin pada umumnya yang mempunyai keterbatasan pada
sumber-sumber potensial yang dimilikinya karena terkendala dengan adanya
keuangan, sehingga potensi-potensi yang ada belum berkembang secara optimal.
Oleh karena itu, negara-negara yang memiliki permasalahan tersebut harus
mencari jalan atau alternatif lain untuk mengatasi masalah tuntutan pada
pendidikan dan pekerjaan yang ada di dalam masyarakat yang secara terus-menerus
mengalami perubahan dan kemajuan secara cepat.
Hal-hal mengenai hambatan-hambatan
keuangan dipengaruhi dengan pertumbuhan ekonomi pada negara tersebut. Sedangkan
pertumbuhan ekonomi pada suatu negara dipengaruhi oleh pendidikan, dengan
pendidikan diharapkan dapat mempengaruhi masyarakat untuk mendorong pertumbuhan
ekonomi negara yang dapat meningkatkan potensi sumber-sumber yang dimiliki
dengan baik.
- Pendayagunaan
Personel dan Fasilitas Bagi Pencapaian Hasil yang Maksimal
Dengan hal ini para pembuat perencanaan pendidikan
dapat memanfaatkan sumber potensi yang dimilikinya mendorong agar membuat
inovasi dan alternatif lain untuk menjawab masalah-masalah yang tengah
dihadapi. Proyek inovasi-inovasi dibawah naungan INNOTECH telah banyak
memberikan hasil sesuai dengan yang dikehendaki dan dapat dijadikan contoh
untuk negara-negara yang sedang berkembang.
- Hubungan
antara Pendidikan dengan Perencanaan Sosial Ekonomi
Hubungan antara pendidikan dengan perencanaan sosial
ekonomi adalah dalam hal ini pendidikan belum dapat menjawab masalah-masalah
yang sedang terjadi di masyarakat, sedangkan masalah yang ada di masyarakat
terus terjadi dan berkembang sehingga menuntut untuk segera diketahui dan
diselesaikan. Akan tetapi dunia pendidikan mengalami kendala keterbatasan
sarana dan prasarana sehingga mengahambat laju dunia pendidikan untuk
pendidikan.
3.
Problema Spesifik yang Dihadapi oleh Administrator Pendidikan
Terdapat
lima masalah yang dihadapi oleh administrator pendidikan pada negara-negara di
ASEAN yang berkaitan dengan kebijaksanaan pendidikan. Dari kelima masalah
tersebut ada tiga masalah yang berkaitan dengan organisasi, manajemen, dan
evaluasi. Dan dua diantaranya berkaitan dengan latihan dan pembinaan guru serta
ketersediaan buku teks dan media pembelajaran.
Yang pertama yaitu masalah yang
berkaitan dengan organisasi pendidikan. Masalah organisasi pendidikan misalnya
yaitu berkaitan dengan pada sekolah yang memiliki tingkatan-tingkatan yang
berbeda. Ukuran kelas dan adanya teknologi serta penggunaan tingkatan kelas
besar atau kecil perlu diperhatikan oleh administrator pendidikan.
Administrator juga perlu memperhatikan daerahnya baik sesuai dengan faktor
kondisional dan situasional untuk mendapatkan model sekolah yang cocok untuk
dikembangkan di daerah tersebut. Seperti daerah yang memiliki tingkat migrasi
tinggi maka akan lebih baik menggunakan sekolah permanen. Sementara itu daerah
yang memiliki jarang penduduk, perlu diadakannya layanan-layanan transportasi
bagi anak sekolah.
Masalah
yang kedua yaitu masalah manajerial. Masalah manajerial ini juga berkaitan
dengan organisasi pendidikan. Bedanya manajerial yang diatas membahas tentang
ukuran kelas, sedangkan organisasi pendidikan disini membahas tentang
penggunaan teknik manajemen yang tepat oleh administrator. Dalam hal ini
administrator mengurus mengenai berbagai macam perbedaan karena berukuran
besarnya sekolah sehingga memiliki banyak warga mulai dari peserta didik sampai
dengan staf, guru, dan tenaga kependidikan serta sarana prasarana yang ada di
sekolah tersebut. Berkaitan dengan masalah manajerial ini, terdapat isu yang
perlu diperhatikan oleh administrator pendidikan. Isu tersebut adalah jika
sekolah menginginkan menanamkan nilai moral kepada peserta didik dengan keadaan
sekolah yang memiliki keberagaman. Maka dalam penanamannya tidak semudah
seperti seseorang yang mempersiapkan diri untuk menduduki suatu jabatan dalam
pekerjaan. Oleh karena itu, pelatihan saja tidak cukup dalam menanamkan
nilai-nilai moral kepada peserta didik seperti pelatihan yang dilakukan dalam
pekerjaan.
Evaluasi
pendidikan merupakan masalah ketiga yang harus dihadapi oleh administrator
pendidikan, evaluasi ini berkaitan dengan hasil capaian dalam rana afektif,
kognitif, dan psikomotorik. Sebagai administrator harus mempunyai pilihan nilai
terhadap perdebatan mengenai titik tekan pada rana tersebut. Selain itu masalah
dalam evaluasi adalah penggunaan sistem evaluasi dalam penjaringan calon peserta
didik baru yang sering kali mengalami kesulitan dalam pengelolaannya.
Masalah
selanjutnya yaitu masalah pelatihan dan pembinaan guru. Administrator memiliki
peranan penting dalam kesuksesan atau kegagalan mencetak tenaga pendidik yang
kompeten. Karena seorang administrator merupakan orang yang merancang sistem
penyelenggaraan pendidikan terutama dalam hal merancang program pembinaan
pendidikan yang sesuai dengan tuntutan zaman yang terus berubah dan bergerak
maju.
Dan
yang ke lima yaitu masalah mengenai buku dan media pengajaran. Inovasi
pendidikan baik sedikit atau banyak akan berkaitan dengan ketersediaan buku dan
media pengajaran. Dengan semikian, secara keseluruhan masih bergantung dengan
interaksi antar manusia yang ada di lembaga tersebut. Oleh karena itu,
administrator haruslah dapat meningkatkan interaksi antar manusia ini agar
dalam merancang sistem pengajaran tidak terabaikan.
Gambaran
Kebijakan-Kebijakan Pendidikan di Negara-negara Kawasan ASEAN
Menurut Peters dan Besley dalam Berse (2018) menyatakan bahwa banyak hal penting yang selalu
ditempatkan pada kapasitas pendidikan tinggi untuk mendorong pertumbuhan dan
dapat berkontribusi
dalam
pembangunan daerah. Pada tahun 2002, sebuah
laporan Bank Dunia menggarisbawahi peran penting
pendidikan tinggi di Indonesia diantaranya untuk pembangunan ekonomi, pengetahuan, dan membangun masyarakat yang demokratis.
Sedangkan menurut Altbach dalam
Berse (2018) menyatakan bahwa di Asia telah menggemakan pengamatan yang sama tentang pendidikan
tinggi yang memainkan peran penting serta tak terhindarkan di wilayah ini,
bahwa sebagian besar berbasis layanan
dan mendorong pertumbuhan ekonomi secara teknologi. Pada tahun 2007, pada KTT ASEAN ke-13 yang diadakan di
Singapura, pernyataan
ketua berkaitan dengan persiapan mengenai
suatu rencana ASCC sangat
meyakinkan dalam memuji pentingnya pendidikan dalam daya saing. Dan daya saing kawasan memastikan bahwa dampak sosial
akan dapat diminimalkan dalam
menghadapi globalisasi, terutama karena ASEAN melakukan lebih banyak upaya
menuju integrasi (ASEAN dalam Berse, 2018). Sejak itu, berbagai kebijakan pendidikan tinggi
institusi dan nasional di seluruh ASEAN telah dirumuskan dan diimplementasikan sesuai dengan
tuntutan menciptakan pendidikan tinggi yang harmonis dengan
sistem berdasarkan prinsip dan inisiatif regional yang telah
disepakati. Namun, prosesnya tidak mudah karena
adanya perbedaan fundamental dalam
struktur, kualitas, dan proses pendidikan tinggi di antara negara-negara
anggota.
Menurut Acharya dalam Berse
(2018:44) peran pendidikan dalam membangun komunitas di negara-negara kawasan
ASEAN yang didirikan pada 8 Agustus 1967 oleh para menteri luar negeri seperti:
Indonesia, Malaysia, Filipina, Singapura, dan Thailand adalah untuk mewujudkan
kerja sama lintas ekonomi, bidang budaya, dan pendidikan, disamping untuk
mempromosikan perdamaian dan stabilitas di seluruh wilayah. Keanggotaan yang
pada awalnya terbatas pada lima anggota pendiri, sejak tahun 1984-1999
diperluas hingga ke Brunei, Vietnam, Laos, Myanmar, dan Kamboja.
Promosi pemberdayaan
manusia selalu menjadi bagian dari tindakan yang diprioritaskan menuju
kolaborasi yang lebih dalam di antara anggota ASEAN. Penekanan pada
pengembangan manusia inilah yang menjadi kunci peran pendidikan dalam membangun
sebuah komunitas regional yang harus disorot. Pendidikan dan komponen lain seperti kesehatan, hak asasi
manusia, dan lingkungan yang berkelanjutan diakui sebagai variabel penting
dalam mempersiapkan orang-orang di wilayah ini untuk menjadi kompeten, anggota
masyarakat yang produktif dan peka terhadap budaya. Begitulah nilai yang
diberikan untuk pendidikan, hal itu sebagai tindakan koresponden yang
dimaksudkan untuk memajukan dan memprioritaskan sektor pendidikan khususnya
pendidikan tinggi yaitu tindakan untuk memberdayakan manusia. Beberapa tindakan
koresponden yang termasuk dalam upaya tersebut adalah untuk:
Ø Meningkatkan
jaringan pendidikan di berbagai tingkat lembaga pendidikan dan melanjutkan
universitas jaringan dan meningkatkan dan mendukung pertukaran siswa dan staf
dan interaksi profesional termasuk menciptakan kelompok penelitian di antara
lembaga-lembaga pendidikan tinggi ASEAN, bekerja sama erat dengan Organisasi
Menteri Pendidikan Asia Tenggara atau biasa disebut dengan SEAMEO dan Jaringan
Universitas ASEAN atau biasa disebut dengan AUN;
Ø Memperkuat
kolaborasi dengan organisasi pendidikan regional dan internasional lainnya
untuk meningkatkan kualitas pendidikan di wilayah ASEAN;
Ø Mempromosikan
opsi penempatan universitas di lembaga pendidikan tinggi di ASEAN dari kedua
negara anggota melalui program "satu semester di luar negeri" atau
"satu tahun di luar negeri" (ASEAN dalam Berse, 2018 ).
1.
Kebijakan Pendidikan di Indonesia
Indonesia merupakan
negara kepulauan yaitu memiliki beribu-ribu pulau, jumlah pulaunya mencapai
lebih dari 17.000 pulau, yang mana dengan kondisi demografi negara Indonesia
yang seperti ini merupakan suatu tantangan bagi Indonesia dalam melakukan
penyampaian sistem pendidikan yang komprehensif dan terintegrasi. Disamping itu
tantangan yang lain yaitu terletak pada jumlah populasi penduduk Indonesia yang
mana juga berpengaruh pada pertumbuhan ekonomi negara dan kesejahteraan
penduduknya. Pada tahun 2011, populasi penduduk di Indonesia mencapai 237,67
juta jiwa yang terdiri dari 300 etnis dan 700 bahasa daerah. Tingkat PDB per
kapita yang dimiliki mencapai US $ 3.563, sehingga Bank Dunia
mengklasifikasikan sebagai ekonomi dengan pendapatan menengah.
Sistem pendidikan di
Indonesia berdasarkan pada Pancasila yang merupakan dasar filosofi dari negara
Indonesia. Tujuan dari sistem pendidikan nasional Indonesia yaitu untuk
mengembangkan keterampilan, karakter, dan peradaban dengan meningkatkan
intelektual dan mengembangkan nilai-nilai kemanusiaan pada siswa seperti
bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, memiliki moral dan karakter yang baik,
sehat jasmani dan rohani, berpengatahuan luas, kompeten, kreatif, dan mandiri
serta bertindak sebagai layaknya warga negara yang demokratis dan
bertanggungjawab. Dapat dikatakan bahwa pendidikan tidak hanya berpusat pada
pengembangan kognitif melainkan juga dalam mengembangkan moral sehingga dapat
membangun indentitas bangsa.
Di Indonesia yang bertanggungjawab
akan pendidikan yaitu Kementrian Pendidikan dan Budaya dan Kementrian Agama
yang mana bertanggungjawab atas semua sekolah yang berkaitan dengan sekolah
yang berbasis pendidikan Islam. Sedangkan untuk pendidikan non formal secara
eksplisit diatur dalam konstitusi, sebab didalam sistem pendidikannya terdapat
perbedaan antara pendidikan formal dan non formal. Pendidikan non formal
berfumgsi sebagai sarana bagi masyarakat dalam menambah pendidikan formal
sehingga dapat meningkatkan pengetahuan dan keterampilan pada siswa. Sejak
tahun 2000 diberlakukannya Undang-Undang mengenai desentralisasi keuangan dan
administrasi, pada tingkat provinsi dan pemerintah daerah memiliki peran
penting dalam pengelolaan sistem pendidikan. Otoritas pendidikan di daerah
telah banyak mengambil alih peran dari Kemendikbud dalam membuat perencanaan,
penyampaian, dan evaluasi program pendidikan.
Kondisi pendidikan di
Indonesia mencapai pada tingkat menengah dibandingkan kondisi pendidikan yang
ada di negara-negara lain anggota ASEAN. Hal ini dikarenakan tingkat
partisipasi murni peserta didik di Indonesia terutama pada jenjang sekolah
menengah atas kurang dari 60%. Kemudian untuk
bentuk struktur sekolah umum di Indonesia menggunakan pola 6-3-3, yaitu, enam
tahun studi dasar, tiga tahun studi menengah bawah, dan tiga tahun studi
menengah atas. Indonesia telah berhasil mencapai kesetaraan gender tingkat tinggi dalam sistem
pendidikannya. Namun yang perlu diperhatikan adalah bahwa anak perempuan di
Indonesia mencatat prestasi keaksaraan yang jauh lebih baik daripada anak
laki-laki. Disamping itu kendala lain yang menjadi tantangan didunia pendidikan
yang ada di Indonesia yaitu adanya ketidakadilan berdasarkan perbedaan dalam
tingkat pendapatan dan kekayaan rumah tangga. Dari hasil survei menunjukkan
bahwa ada kesenjangan yang signifikan dalam pencapaian terkait dengan kekayaan
keluarga. Hasil PISA pada tahun 2009 menunjukkan bahwa yang terdaftar di
sekolah menengah atas atau pendidikan tinggi terdapat hampir 80% peserta didik yang
berasal dari latar belakang keluarga yang kaya, tetapi hanya 20% peserta didik
yang berasal dari latar belakang keluarga miskin. Disamping itu pula masalah
pendidikan yang lain adalah pertumbuhan jumlah guru selama satu dekade terakhir
di Indonesia sangat spektakuler. Hal ini diperkirakan bahwa sejak tahun 2004 jumlah guru sekolah dasar telah
meningkat sebesar 30%, sementara jumlah siswa sekolah dasar tetap atau kurang
lebih konstan. Dari rasio guru yang lebih banyak dibandingkan dengan peserta
didik yang ada, justru tidak begitu berpengaruh terhadap peningkatan kualitas
pendidikan di Indonesia. Hal ini karena perbaikan pedidikan terbatas di Jawa
dan Bali. Oleh karena itu, seharusnya guru yang dipekerjakan di daerah pedesaan
dan terpencil perlu terus melanjutkan studinya guna menjadi lebih berkualitas.
Indonesia merupakan salah
satu negara dalam anggota ASEAN, saat ini negara-negara diwilayah tersebut
sedang melakukan pengembangan dan perbaikan dalam bidang pendidikan begitupun
dengan Indonesia. Untuk memperbaiki dan meningkatkan kualitas pendidikan,
Indonesia telah melaksanakan beberapa program untuk memudahkan masyarakat dalam
mengakses pendidikan. Seperti pemerintah telah menyediakan program BOS, BSM,
dan KIP yang diberikan pada masyarakat kurang mampu, sehingga tetap dapat
mengenyam pendidikan. Selain itu, Indonesia juga berkaca dengan negara-negara
lain di kawasan Asia Tenggara yang mempunyai pendidikan berkualitas bagus.
Serta selalu meninjau posisi peringkat mutu pendidikan yang ada di Asia
Tenggara guna meningkatkan motivasi dan evaluasi mengenai sistem pendidikan
yang telah diterapkan. Namun,
berdasarkan data yang didapatkan dari Welle (2019) secara umum, kualitas
pendidikan di Indonesia masih dibawah Palestina, Samoa, dan Mongolia. Sedangkan skor Indeks Pendidikan yang
dimiliki oleh Indonesia sebesar 0,603, hal ini menyebabkan Indonesia berada di
posisi 108 pendidikan di dunia dan berada di posisi ke lima pendidikan di
ASEAN. Sebagai negara kepulauan negara Indonesia hanya 44% dari
penduduknya yang dapat menuntaskan
pendidikan menengah. Sementara itu, 11% dari siswa-siswa yang bersekolah gagal
menuntaskan pendidikan alias keluar dari sekolah. Menurut pemetaan kemendikbud
terhadap 40.000 sekolah pada tahun 2012 dalam Widodo (2015:301), menyatakan
bahwa pemetaan akses dan mutu pendidikan Indonesia pada tahun 2013-2014
menunjukkan bahwa Indonesia berada pada posisi 40 dari 40 negara, untuk
pendidikan tinggi Indonesia berada di peringkat 49 dari 50 negara dan untuk
pemetaan literasi pada anak-anak mengenai sains dan matematika berada pada
peringkat 40 dari 42 negara.
Pendidikan sekolah dasar
di Indonesia telah disediakan sebagai salah satu sektor publik yang utama.
Lamanya pendidikan sekolah dasar di Indonesia yaitu sekitar 6 tahun. Sekitar
10% dari seluruh siswa sekolah dasar yang ada di Indonesia, memilih untuk
bersekolah di madrasah (Sekolah berbasis agama Islam). Kurikulum di sekolah
dasar meliputi: studi bahasa Indonesia, matematika, sains, ilmu sosial, seni,
pendidikan jasmani dan agama. Selain itu dalam praktik pembelajaran sekolah
dasar di Indonesia juga menyisipkan nilai-nilai pembelajaran yang berasal dari
nilai-nilai budaya lokal setempat maupun tambahan studi bahasa seperti bahasa
Inggris atau bahasa lain seperti bahasa Arab yang biasanya diterapkan di
sekolah-sekolah berbasis agama Islam (madrasah). Dari berbagai jenis atau macam sekolah di
Indonesia pada akhirnya seluruh peserta didik yang megenyam pendidikan sekolah
dasar baik sekolah dasar negeri yaitu dari pemerintah maupun yayasan seperti
madrasah akan melewati ujian nasional sebagai salah satu bentuk penilaian yang
mana berfungsi untuk mengkonfirmasi hasil capaian belajar peserta didik serta
sebagai standar dalam menentukan apakah peserta didik dapat melanjutkan ke jenjang sekolah yang
lebih tinggi.
2.
Kebijakan Pendidikan di Brunei Darussalam
Brunei Darussalam
merupakan negara terkecil dari negara-negara anggota ASEAN, sehingga menjadikan
negara ini memiliki Produk Domestik Bruto (PDB) pekapita tertinggi kedua diantara
negara-negara anggota ASEAN. Tentu hal tersebut juga berpengaruh pada
perkembangan kualitas pendidikan di negara ini . Berdasarkan data dari Welle
(2019) bahwa, Brunei Darussalam memiliki Indeks Pendidikan atau EDI sebesar
0,692, menempati posisi 30 pendidikan terbaik di dunia dan menempati posisi
kedua pendidikan terbaik di Asia Tenggara. Majunya pendidikan di Brunei
Darussalam didukung secara langsung oleh pemerintahnya. Semua biaya pendidikan
ditanggung oleh pemerintah termasuk penginapan, makan, buku dan transportasi,
sehingga tidak mengherankan jika pendidikan di Brunei Darussalam dapat
berkembang secara pesat. Brunei
Darussalam saat ini memang sedang mengutamakan investasi dalam pembangunan
dibidang pendidikan seperti diadakannya sistem pendidikan dengan tujuan untuk
mengamankan masa depan rakyatnya dalam bidang ekonomi dan pengetahuan global.
Disamping itu di negara ini juga telah banyak orang yang dapat berbicara
menggunakan bahasa Inggris. Dibidang pendidikan negara ini juga terdapat aktor
yang memiliki wewenang dalam mengelola pendidikan, yaitu oleh The Ministry of
Education (MOE) atau Departemen Pendidikan yang mana memiliki tanggung jawab
untuk mengelola sistem pendidikan, kecuali untuk sekolah yang berbasis agama,
yang mengelola adalah The Ministry of Religious Affairs (MORA) atau disebut
dengan Departemen Agama (Depag).
Sejak tahun 2009, Brunei
Darussalam telah menerapkan Sistem Pendidikan Nasional baru untuk Abad 21
(Sistem Pendidikan Negara Abad ke-21, atau SPN21) yang mana dimaksudkan untuk
mencapai visi nasional yang nantinya diwujudkan ditahun 2035, sehingga negara
ini akan diakui secara luas dalam pencapaiannya mewujudkan banyak masyarakat
yang berpendidikan tinggi dan memiliki keterampilan atau keahlian. Dengan
begitu dapat meningkatkan kualitas hidup dan ekonomi yang dinamis serta
berkelanjutan dengan pendapatan per kapita yang tinggi pula. Selain itu, pada
SNP21 ini terdapat kurikulum dan kerangka penilaian yang mana diterapkan secara
progresif dengan memperkenalkan fokus baru dalam sistem sekolah yang berpusat
pada peserta didik yang mana memiliki fungsi diantaranya: mendorong siswa untuk
membangun kekuatan dan kemampuan mereka, mendorong peserta didik untuk mengejar
bidang pelajaran sesuai dengan minat
belajarnya, dapat mengambil keuntungan dari banyak jalur melalui sistem sekolah
dan pendidikan tinggi, serta untuk mengembangkan kapasitas pembelajaran seumur
hidup. Disamping itu, para guru juga didukung untuk mengembangkan lebih banyak
pendekatan yang berbeda dengan silabus
umum. Mereka juga terlibat dalam pengembangan program profesional yang mana
dapat memungkinkan mereka dalam memanfaatkan sumber daya Teknologi Informasi
dan Komunikasi (TIK) yang lebih kreatif. Dalam implementasi SPN21 ini tidak
semata-mata berfokus pada aspek kognitif pendidikan, namun juga berfokus pada
peserta didik yang dapat mengerti dan menghargai nilai-nilai dan norma-norma
yang ada di Brunei Darussalam sebagai Negara Islam dengan tradisi panjangnya
sebagai negara monarki.
Struktur sekolah umum
Brunei Darussalam menggunakan pola 6-5-2, yaitu enam tahun studi di sekolah
dasar, lima tahun studi di sekolah menengah dan dua tahun studi
pra-universitas. Menurut data yang diperoleh menyatakan bahwasanya rata-rata
masyarakat yang melek huruf sangat tinggi dapat menyamahi bahkan mengalahkan
rata-rata masyarakat yang melek huruf jika dibandingkan dengan rata-rata regional United Nations Educational,
Scientific and Cultural Organization (UNESCO).
Brunei Darussalam telah
berhasil mencapai kesetaraan gender di bidang pendidikan, seperti yang
ditunjukkan oleh paritas dalam angka partisipasi kasar anak laki-laki dan
perempuan di pra-primer, primer dan pendidikan menengah. Di TVET, hanya sekitar
40% dari semua siswa adalah perempuan; tetapi dalam pendidikan tinggi anak perempuan
menjadi lebih sukses daripada anak laki-laki - pada tahun 2009, proporsi
pendidikan tersier wanita lulusan lebih tinggi daripada proporsi lulusan
pendidikan pria di semua yang dilaporkan bidang studi, kecuali untuk teknik.
Selama dua dekade terakhir,
Brunei Darussalam telah menerapkan serangkaian inisiatif tentang pendidikan
inklusif. Selama pertengahan 1990-an, program pendidikan guru pra-jabatan
direformasi secara luas untuk memberikan perhatian yang jauh lebih besar pada
metode pengajaran yang lebih inklusif untuk anak-anak dengan masalah belajar.
Program pelatihan dalam layanan yang membahas pendidikan khusus yang telah diperkenalkan dan telah dikembangkan. Bantuan
Pendidikan Khusus yang baru ini cukup
tetap menjadi suatu tantangan dalam sistem pendidikan di Brunei Darussalam.
Dari catatan tambahan menunjukkan bahwa Kementerian juga memberikan bantuan
kepada siswa yang kurang mampu seperti: pemberian makan (sarapan dan makan
siang), dukungan finansial untuk materi sekolah, serta akomodasi asrama.
Pendidikan sekolah dasar
di Brunei Darussalam terdapat delapan bidang pembelajaran utama, yaitu: bahasa,
matematika, sains, humaniora dan ilmu sosial, seni dan budaya, teknologi,
kesehatan dan pendidikan jasmani, dan pengetahuan agama Islam dan Monarki Islam
Melayu (filosofi inti Brunei Darussalam yang menggabungkan cinta negara,
menghormati penguasa, menjunjung tinggi Islam nilai nilai, pandangan positif
tentang pembangunan nasional, dan pengembangan tanggung jawab pribadi sebagai
anggota masyarakat). Pendidikan dasar disini juga menggunakan dua bahasa, yaitu
bahasa melayu dan bahasa inggris. Untuk bahasa melayu biasanya digunakan pada
saat pembelajaran di mata pelajaran pengetahuan agama dan kebangsaan serta mata
pelajaran bahasa melayu itu sendiri. Sedangkan bahasa inggris digunakan pada
saat mata pelajaran Matematika, Sains, Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK)
serta Bahasa Inggris. Akumulasi nilai pembelajaran yang ada disekolah dasar ini
menjadi tolak ukur yang menentukan apakah para peserta didik sudah siap atau
belum untuk melanjutkan ke pendidikan tingkat menengah. Disamping itu, hasil
tes juga digunakan untuk memasukkan peserta didik apakah perlu ke kursus
sekolah menengah yang terbaik agar dapat menyesesuaikan kecepatan belajar,
kemampuan, dan kecenderungan akademis mereka.
3.
Kebijakan Pendidikan di Filipina
Menurut Welle (2019),
Filipina menempati posisi 117 pendidikan di dunia dan posisi ke enam di Asia
Tenggara, hal ini karena tingkat kegagalan siswa-siswa di Filipina dalam
menuntaskan sekolah. Kegagalan dalam menuntaskan pendidikan, di Filipina
termasuk dalam peringkat tertinggi di dunia yaitu mencapai 24,2%.
Kebijakan di Filipina
dipegang oleh sebuah badan di bawah Kantor Kepresidenan yang memiliki tanggung
jawab atas semua hal yang berkaitan dengan pendidikan tinggi di negara Filipina
yaitu oleh Komisi Pendidikan Tinggi Filipina atau Philippine Commission on Higher Education (CHED). Berdasarkan pada tindakan oleh ASEAN Socio-Cultural Community (ASCC), CHED
telah aktif dalam mendorong reformasi di bidang-bidang penting untuk
harmonisasi pendidikan tinggi di wilayah tersebut, seperti adanya kerangka
kerja kualifikasi, jaminan kualitas, dan sistem transfer kredit. Pada dasarnya
peran CHED yang utama adalah menyediakan lingkungan yang memungkinkan melalui
kebijakan, program, dan rencana untuk mewujudkan tujuan yang harmonis. Serta untuk
menerapkan kebijakan yang diperlukan dalam menetapkan kerangka kerja
kualifikasi, jaminan kualitas, atau transfer kredit. Harapan dari implementasi
tersebut adalah untuk memungkinkan dan memberdayakan sekolah sehingga dapat
sepenuhnya menyadarkan masyarakat akan manfaat dari sistem tersebut yang
nantinya dapat menghasilkan lulusan yang aktif. Tujuan CHED adalah agar mereka
memiliki lulusan yang kompetensinya dan kualifikasinya sama secara global diakui
(Berse, 2018 ).
Selain itu di Filipina
terdapat pula kerangka kualifikasi yang biasa disebut dengan Pengembangan Kerangka Kualifikasi Filipina
atau Philippine Qualifications Framework (PQF), yang mana memiliki tujuan
untuk menetapkan standar tentang keterampilan dan kompetensi, mengembangkan
jalur dan kesetaraan, dan memastikan keselarasan standar Filipina dengan
kerangka kerja kualifikasi internasional yang akan berkontribusi besar dalam
mobilitas dan pengakuan kualifikasi pekerja. Pada tahun 2012, kerangka kerja
tersebut merinci setiap individu atau tingkat kualifikasi pendidikan pelajar
bersama dengan standar yang sesuai dengan hasil. Sistem ini pada dasarnya
menyediakan cara untuk mengenali, mengembangkan, dan memberi penghargaan atas kualifikasi peserta didik dan pekerja
berdasarkan standar pengetahuan, keterampilan, dan nilai–nilai, meskipun dasar
untuk memperoleh kualifikasi tersebut dapat bervariasi. Sedangkan Pada tahun 2015,
pelembagaan PQF hanya melalui perintah eksekutif dan bukan melalui
undang-undang. Namun, sementara proses legislasi masih berlangsung, perlu
dicatat bahwa PQF tertuang dalam pada undang-undang yang merupakan
Undang-Undang Republik (RA) 10647 atau UU Pendidikan Ladderized 2014.
Konsekuensi dengan pelembagaan PQF adalah komitmen Filipina untuk merujuk
kualifikasi pendidikannya terhadap Kerangka Referensi Kualifikasi ASEAN atau ASEAN Qualifications Reference Framework
(AQRF) pada tahun 2018 (Bautista dan Taganas dalam Berse, 2018). AQRF “adalah kerangka acuan umum yang berfungsi sebagai
perangkat untuk memungkinkan terjadinya perbandingan kualifikasi di seluruh
Negara Anggota ASEAN serta posisinya disektor pendidikan dan pelatihan dalam
tujuan yang lebih luas untuk mempromosikan pembelajaran seumur hidup (AQAF
dalam Berse, 2018).
Pendidikan sekolah dasar
di Filipina dimulai dengan menerima peserta didik baru pada usia enam tahun,
namun dalam sebagian kecil kasus juga terdapat penerimaan peserta didik baru
yang berusia tujuh tahun. Bidang studi yang diajarkan meliputi bahasa Filipina,
bahasa Inggris, matematika, dan sains pada kelas tiga dan pada kelas empat
sudah mulai terdapat beberapa bidang studi pilihan dan Makabayan (subjek yang
berusaha mengembangkan apresiasi yang lebih dalam budaya, sejarah dan warisan
Filipina, dan yang dapat secara luas digambarkan sebagai kewarganegaraan dan
budaya, kesehatan dan sejarah). Peserta didik yang tidak membuat kemajuan yang
cukup dengan hasil studi mereka di beberapa tahun pertama di sekolah dasar
dapat diberikan dukungan berupa tugas perbaikan (remidi) dan mungkin akan
diminta untuk mengulang kelas. Untuk ketentuan mengulang kelas yaitu apabila
peserta didik memiliki nilai di bawah nilai kelulusan 75% dari standar yang
ditetapkan. Namun Setelah berhasil menyelesaikan studi hingga kelas 6, peserta
didik akan otomatis diberikan materi atau program perkembangan untuk
melanjutkan jenjang yang lebih tinggi yaitu pada Sekolah Menengah Pertama
(SMP), kecuali mereka bersekolah di sekolah swasta (atau sekolah dasar negeri
tertentu) atau sekolah dengan kurikulum sekolah dasar tujuh tingkat atau mereka
yang ingin melanjutkan sekolah ke SMP
swasta, maka mereka perlu menyelesaikan ujian masuk. Selama program sekolah dasar
dan selama program sekolah menengah pertama, semua peserta didik baik di
sekolah negeri atau swasta, diwajibkan mengikuti Tes Prestasi Nasional yang
dikelola oleh departemen pendidikan, yang mana dilakukan oleh peserta didik di
kelas 3, 6 dan 10. Untuk versi tes di kelas 3 membahas tentang kemahiran siswa
dalam berbahasa Filipina dan bahasa Inggris, serta kemahirannya dibidang
matematika dan sains. Kemudian untuk kelas 6 membahas tentang kemahiran peserta didik dalam bahasa
Filipina, bahasa Inggris, sains, matematika, dan penelitian sosial. Dan
terakhir tes pada kelas 10 membahas tentang kemampuan peserta didik dalam
berbahasa Filipina, bahasa Inggris, sains, matematika, studi sosial, dan
pemikiran kritis. Nilai rata-rata yang ditetapkan sebagai standar tingkat
penguasaan adalah 75%. Perlu dicatat bahwa dalam beberapa tahun terakhir,
rata-rata nasional telah meningkat secara konsisten dan, meskipun masih di
bawah level 75%, gerakan telah mendekati penguasaan.
4.
Kebijakan Pendidikan di Kamboja
Kamboja dalam satu dekade
terkahir telah banyak melakukan perbaikan di pendidikan. Namun, hal tersebut
tidak mengubah posisi pendidikan kamboja kancah di dunia. Berdasarkan data yang
didapat dari Welle (2019), Kamboja menempati peringkat 136 dengan skor EDI 0,495.
Dengan tingkat kegagalan siswa sebesar 35,8% dan hanya terdapat 15,5% penduduk
yang mengenyam pendidikan menengah.
Kamboja sebagai salah
satu negara anggota ASEAN yang dapat dikatakan paling tidak berkembang, memiliki tingkat
pertumbuhan ekonomi tahunan yang cukup mengesankan sejak pertengahan 1990-an,
namun dengan PDB per kapita rendah dan banyak penduduknya yang masih hidup di
bawah garis kemiskinan serta hampir seluruh penduduknya berdomisili di daerah pedesaan.
Dalam bidang pendidikan hal yang mengenai evaluasi kinerja sistem dan
menentukan persyaratan sumber dayanya ditentukan oleh Kementerian Pendidikan,
Pemuda dan Olahraga atau disini disebut dengan istilah (MOEYS) mengeluarkan
peraturan yang relevan, untuk mengembangkan rencana strategis dan memonitor
kinerja sistem. Rencana tersebut berfokus pada pembangunan strategis nasional
telah untuk mengurangi kemiskinan dan pemerataan gender, serta meningkatkan investasi riil dan
membangun kapasitas kelembagaan dan manusia, yang bereformasi ekonomi dan
memiliki pencapaian pertumbuhan ekonomi. Dalam kerangka ini dapat terwujud
melalui Rencana Strategis Pendidikan lima tahun yang memandu perkembangannya
secara spesifik. Hal tersebut berupaya memastikan bahwa agar semua anak dan
remaja Kamboja memiliki kesempatan yang sama untuk akses ke pendidikan dasar,
baik formal maupun informal, tanpa diskriminasi dengan alasan ras, warna kulit,
jenis kelamin, bahasa, agama, afiliasi politik orang tua, tempat status
kelahiran atau status sosial.
Disamping itu strategi
lain yang memiliki prioritas pada tahun 2009 hingga 2013 adalah: memastikan
akses yang setara ke layanan pendidikan; meningkatkan kualitas dan efisiensi
layanan pendidikan; dan kelembagaan dan pengembangan kapasitas untuk staf
pendidikan untuk desentralisasi. Berbeda dengan Brunei Darussalam, di Kamboja
angka penduduk yang melek huruf tergolong jauh
dibawah rata-rata dari data indikator kinerja yang tersedia. Hambatan
dan tantangan yang dihadapi oleh Kamboja dalam meningkatkan pendidikan yaitu
kesetaraan gender dalam berpartisipasi, banyak anak laki-laki yang tampaknya
lebih mungkin putus sekolah sebelum waktunya dan mereka juga banyak lebih
cenderung mengulang nilai, adanya
perbedaan besar dalam proporsi guru sekolah dasar perempuan - di Phnom
Penh, dibandingkan dengan di banyak provinsi yang lebih terpencil jumlahnya
kurang dari sepertiganya, adanya perbedaan yang signifikan terkait dengan
perbedaan antara kaya dan miskin sejauh mana kaum muda tetap berada dalam
sistem pendidikan atau dapat menyelesaikan sekolah/pendidikannya. Oleh karena
itu dalam upaya untuk mendapatkan indikator yang lebih andal tentang
keefektifan sistem pendidikan, Pemerintah Kamboja telah memperkenalkan sistem
pengujian kinerja di kelas 3, 6 dan 9 dengan berupaya menghindari distorsi
ujian gerbang yang memanfaatkan pengambilan sampel skala kecil secara nasional
dengan hasil anonim - yaitu, pengujian difokuskan pada sistem pendidikan secara
keseluruhan daripada penampilan siswa secara individu. Hasil anekdotal
menunjukkan bukti akan kebutuhan peningkatan kualitas di mana pejabat
kementerian sekarang mengambil tindakan. Sehubungan dengan pelatihan guru,
pemerintah sangat menyadari perlunya mengatasi masalah yang berkaitan untuk
profesi guru. Ia telah mengisyaratkan niatnya untuk mengembangkan reformasi
pembayaran berbasis kinerja.
Kemudian masalah tingkat
gaji yang rendah untuk guru sangat perlu ditangani. Insentif untuk guru
bersedia bekerja di sekolah di daerah terpencil dan etnis minoritas saat ini
sedang ditangani oleh pemerintah.
Pendidikan Dasar di
Kamboja disediakan untuk anak-anak berusia 6 hingga 11 tahun. Mulai dari tahun
2010 menuju tahun 2011 Kamboja telah melakukan tindakan dalam memajukan
negaranya dibidang pendidikan yakni dengan memperluas penyediaan pendidikan dasar.
Antara tahun 2005 sampai dengan tahun 2012 jumlah peserta didik yang ada di
jenjang pendidikan dasar meningkat, yakni dari 91% menjadi 97% yang sebanding
dengan rata-rata untuk negara-negara Anggota ASEAN. Namun dalam hal ini juga terdapat kendala yaitu,
menurut kebijakan yang ada di Kamboja anak-anak yang boleh mendaftar di Sekolah
Dasar haruslah berusia 6 tahun, namun kenyataannya masih banyak sekitar 10%
dari semua anak yang masuk sekolah dasar untuk pertama kalinya berusia lebih
tua dari usia enam tahun. Kemudian masalah lainnya yaitu masih ada orang tua
yang tidak mampu untuk terus mengirim anak-anak mereka ke sekolah walaupun
telah diberlakukannya aturan tentang penghapusan biaya pada pendidikan jenjang
sekolah dasar di tahun 2001.
5.
Kebijakan Pendidikan di Laos
Berdasarkan data dari
Welle (2019), Laos menempati peringkat 139 pendidikan dunia dan 9 di Asia
Tenggara, dengan tingkat literasi penduduk dewasa Laos sebesar 72,7%. Sementara
penduduk yang belum pernah mengenyam pendidikan formal mencapai 40%. Sehingga
tingkat literasi yang dimiliki oleh Laos merupakan tergolong yang paling
rendah.
Laos merupakan negara
dengan tingkat pendapatan ekonomi menengah kebawah, yang mana dikarenakan
menurut data Bank Dunia yang mengklasifikasikan ekonomi Laos sebagai
'pendapatan menengah ke bawah' karena PDB per kapita mencapai level $ 1.279 di
tahun 2011 dengan proporsi penduduk yang hidup di bawah nasional garis
kemiskinan, bagaimanapun, cukup tinggi pada 24% pada tahun 2011. Laos secara
geografis merupakan negara besar yang mana besarnya lebih dari dua pertiga
ukuran Vietnam dengan populasi yang relatif kecil (hanya 6,39) juta pada tahun
2011. Ia memiliki setidaknya 49 kebangsaan etnis yang berbeda. Kelompok
etno-linguistik terbesar, menyumbang hampir 58% dari populasi, adalah Lao-Tai -
ditemukan terutama di daerah ricegrowing subur dataran rendah di negara itu.
Banyak dari negara ini bergunung-gunung, membuat pertanian dan komunikasi
sulit. Keragaman etnis dari populasi, dalam kombinasi dengan keterpencilan dari
beberapa komunitas, menimbulkan tantangan untuk pengiriman pendidikan dalam
bahasa Lao. Untuk perekembangan pendidikan sendiri di negara Laos telah
mengalami kemajuan sejak tahun 2009 dengan tingkat pendaftaran bersih pada
sekolah dasar sebanyak 96,5% yang sangat
dekat bahkan lebih unggul 0,5% dibandingkan dengan rata-rata regional UNESCO
yaitu 96% pada tahun 2011. Struktur sekolah umum Laos sesuai dengan pola 5-4-3,
yaitu, lima tahun studi dasar, empat tahun studi menengah bawah, dan tiga tahun
studi menengah atas. Sedangkan untuk angka melek huruf pada laki-laki dan
perempuan yang berada pada rentang usia 15-24 tahun yaitu sebesar 77,4% untuk
laki-laki dan 68,7% untuk perempuan. Dari data tersebut menunjukkan bahwa angka
melek huruf di negara Laos masih tidak begitu tinggi jika dibandingkan dengan
negara-negara lain di kawasan ASEAN.
Namun disisi lain negara Laos juga menunjukkan tantangan pada kesetaraan
gender yang cukup signifikan. Yang mana pada kenyataannya terdapat kesenjangan
antara laki-laki dengan perempuan dalam kebebasan menempuh pendidikan pada
jenjang sekolah menengah. Disini, para perempuan banyak dirugikan dengan
anggapan atau doktrin bahwa seorang perempuan terutama di daerah pedesaan lebih
baik mempersiapkan diri berkontribusi untuk membina rumah tangga sejak usia
dini.
Pendidikan dasar di Laos
pada tahun 2012 s.d. 2013 terdapat 8.927 sekolah dasar, dengan jumlah peserta
didik sebanyak 878.283 siswa yang mana
48% di antaranya adalah perempuan. Kenyataan pendidikan sekolah dasar
yang ada di Laos diperkirakan 10% dari seluruh desa masih belum memiliki
sekolah dasar. Dan hampir 57% dari semua sekolah dasar yang ada menawarkan
sekolah dengan tingkat kelas yang tidak lengkap. Disamping itu, diperkirakan
70% dari sekolah dasar di kabupaten termiskin juga menawarkan sekolah dengan
tingkat kelas yang tidak lengkap. Masalah di pendidikan dasar yang ada di Laos
yaitu tingginya angka putus sekolah dan pengulangan kelas terutama di daerah
pedesaan. Hal ini disebabkan faktor kelangsungan hidup mereka yang mana
memengaruhi kondisi fisik dan daya
mereka agar dapat tetap melanjutkan sekolah.
6.
Kebijakan Pendidikan di Vietnam
Menurut
data yang berasal dari Welle (2019), bahwa skor EDI saat ini yang tercatat oleh Vietnam yaitu
sebesar 0,513 dengan tingkat literasi penduduk dewasa mencapai 93,5%. Vietnam
dalam peringkat pendidikan di dunia menempati posisi ke 121 dengan kualitas
pendidikan yang lebih rendah dari Irak dan Suriah.
Vietnam merupakan negara
yang tingkat ekonominya tergolong sebagai berpenghasilan menengah ke bawah. Hal
ini dilihat dari data oleh Bank dunia yang menyatakan tingkat PDB per kapita
pada tahun 2011 adalah US $ 1.403. Sedangkan Proporsi penduduk negara Vietnam
yaitu 87,84 juta pada tahun 2011 yang hidup di bawah garis kemiskinan nasional,
angka tersebut merupakan angka yang sangat tinggi. Oleh karena itu, dalam
konstitusi Vietnam menyebutkan bahwa pendidikan sebagai "kebijakan
nasional yang terpenting". Dasar Huku Pendidikan di tahun 2005 menjelaskan
bahwa pemerintah Vietnam memberikan persetujuan kepada setiap warga negara,
tanpa memandang asal etnis, agama, kepercayaan, jenis kelamin, keluarga, latar
belakang, status sosial atau kondisi ekonomi, dalam mendapatkan hak atas akses
untuk mendapatkan kesempatan belajar yang sama. Prioritas negara Vietnam untuk
sistem pendidikan diungkapkan dalam pernyataan strategi sepuluh tahun, seperti
Strategi Pengembangan Pendidikan untuk 2011- 2020. Ungkapan tersebut memiliki
tujuan yang cukup ambisius.
Dari data yang didapat
menunjukkan tingkat melek huruf orang dewasa di Vietnam sebanyak 93,4% pada
tahun 2011, yang mana angka tersebut sedikit di bawah rata-rata regional UNESCO
dari 94,7% pada tahun 2011,143. Sedangkan tingkat melek huruf yang dicapai oleh
kaum muda berusia 15 hingga 24 tahun sebanyak 97,5% untuk pria pada tahun 2011,
dan 96,7% untuk perempuan. Kemudian
struktur sekolah umum di Vietnam menggunakan pola 5-4-3, yaitu, lima tahun
studi dasar, empat tahun studi menengah bawah, dan dua tahun studi menengah
atas. Disamping itu, pendidikan 'non-publik', memainkan peran yang sangat kecil
dalam sistem sekolah Vietnam dan di sektor perguruan tinggi, sekitar 16% dari
semua siswa terdaftar di universitas atau perguruan tinggi swasta. Proporsi ini
adalah diperkirakan akan meningkat di tahun-tahun mendatang. Sedangkan untuk
ketidaksetaraan berbasis gender yang ada di Vietnam umumnya tidak jelas sejauh
menyangkut tingkat pendaftaran sekolah, kecuali di antara kelompok etnis
minoritas tertentu yang mana dalam hal ini yang menjadi penghalang biasanya
yaitu kelompok etnis minoritas tersebut cenderung dapat berbahasa daerahnya
sendiri bukan bahasa nasional negara Vietnam dan juga disebabkan karena kondisi
di wilayah geografis tertentu.
Masalah yang ada dalam
bidang pendidikan di Vietnam yaitu adanya kesenjangan dalam partisipasi atau
jumlah peserta didik di jenjang sekolah menengah yang berasal dari kelompok
etnis minortitas ataupun kesenjangan yang ditinjau dari status sosial
(masyarakat kaya dan masyarakat miskin). Disamping itu, Kebangsaan etnis
Vietnam cenderung tinggal di bagian yang lebih terpencil dan bergunung-gunung
di negara itu, sehingga lokasi geografis mereka menambah kesulitan menyediakan
mereka dengan tingkat pendidikan yang memadai. Anak-anak tinggal di pegunungan
daerah yang mungkin terburuk. Cuaca buruk dan jalan yang buruk dapat mengganggu
kehadiran di sekolah. Sebagai mereka semakin tua, orang-orang muda dari daerah
ini, terutama anak perempuan, mungkin diharuskan untuk menghabiskan lebih
banyak waktu membantu di rumah. Angka partisipasi dalam pendidikan pra-sekolah
dan menengah juga berbeda secara signifikan antara desa dan daerah perkotaan.
Survei yang dilakukan pada tahun 2006 menemukan, misalnya, bahwa 75 persen
anak-anak perkotaan menghadiri sekolah pra-sekolah, dibandingkan dengan hanya
51 persen anak-anak pedesaan. Berbagai kondisi berdampak pada tingkat ini.
Orang tua di daerah pedesaan mungkin kurang menyadari nilai pendidikan yang
lebih tinggi anak-anak mereka, dan tentu saja mereka cenderung berpenghasilan
rendah. Daerah pedesaan juga lebih mungkin mengalami kekurangan guru yang
berkualitas, terutama yang lebih muda dan yang baru saja berkualitas guru. Oleh
karena itu, Pemerintah Vietnam dan Organisasi Bantuan Internasional lain ikut
membantu dengan menyediakan lebih banyak beasiswa, membangun lebih banyak
asrama sekolah, mendorong pembelajaran bahasa Vietnam, dan memberikan
pengecualian biaya kuliah.
Pendidikan sekolah dasar
di Vietnam menerima peserta didik baru pada usia enam tahun dan menyediakan
lima tingkat kelas per satu tahun. Pendidikan sekolah dasar di Vietnam ini
mengikuti kurikulum nasional dengan beberapa waktu yang tersedia untuk membahas
materi pelajaran yang memuat nilai-nilai lokal. Namun sekolah dasar disini
sangat disarankan untuk menawarkan pelatihan bahasa asing sebagai pilihan di
kelas dasar pada tingkat kelas atas. Bahasa Inggris umumnya adalah bahasa yang
dipilih pada tahun 2009 s.d. 2010, ada 15.172 sekolah dasar di Vietnam yang
menyediakan total pendaftaran hingga 6,9 juta siswa dengan 47,3% di antaranya
adalah perempuan.
7.
Kebijakan Pendidikan di Myanmar
Myanmar merupakan salah
satu negara di Asia Tenggara yang telah berpuluh-puluh tahun dalam cengkraman
kekuasaan junta militer. Sekarang ini, Myanmar sedang membangun dan mengejar
ketertinggalannya dalam pendidikan. Menurut data dari Welle (2019), Myanmar
menempati urutan ke 150 dunia dengan skor EDI sebesar 0,371. Dan tercatat
sebanyak 19% penduduk Myanmar yang pernah mengenyam pendidikan menengah.
Myanmar memiliki populasi
lebih dari 61 juta dan memiliki daratan terbesar kedua di Asia Tenggara.
Myanmar juga memiliki PDB per kapita sebesar US $ 875 pada tahun 2011. Dari
seperempat populasi yang ada, sekitar 25,6% pada tahun 2011 masyarakat di
Mayanmar terkena dampak serius akibat kemiskinan. Di Myanmar terdapat keragaman
etnis dengan lebih dari 130 kebangsaan etnis yang berbeda, diantaranya
meliputi: kelompok etnis Bamar terdapat sekitar 68% dari populasi, kelompok
etnis lainnya yaitu Shan sebanyak 9%, Karen sebanyak 6%, dan Rakhine sebanyak
4%, semua etnis tersebut cenderung tinggal di daerah yang lebih terpencil dan
di dataran tinggi. Kementerian Pendidikan Myamar bertanggung jawab atas
penyediaan pendidikan dasar. Dua kementerian lain yang juga berperan adalah
Kementerian Agama (yang bertanggung jawab atas sekolah monastik) dan
Kementerian Urusan Perbatasan (sebagian bertanggung jawab atas sekolah di
daerah terpencil).
Pada Februari 2012,
Kementerian Pendidikan Myamar memprakarsai Tinjauan Sektor Pendidikan
Komprehensif, yang tujuannya adalah untuk mempromosikan "masyarakat
pembelajar yang mampu menghadapi tantangan zaman pengetahuan". Ulasan
tersebut sudah memiliki nilai simbolis yang sangat besar karena memberi harapan
bahwa setiap anak di Myanmar akan memiliki kesempatan untuk menyelesaikan
pendidikan dasar yang berkualitas baik dan yang akan dihasilkannya yaitu
rencana sektor pendidikan berbiaya setelah fase 3 untuk pengembangan pendidikan
di Myanmar.
Tingkat melek huruf orang
dewasa pada tahun 2011 di Myanmar sebanyak 95,01% berada di atas rata-rata
regional UNESCO yang sebesar 94,7%. Dan tingkat melek huruf yang dicapai oleh
kaum muda berusia 15 hingga 24 tahun pada tahun 2012 terdapat sebanyak 98,54%
untuk pria dan 97,17% untuk wanita. Di Myanmar juga telah membangun sekolah
baru sekitar 135 sekolah untuk sekolah menengah atas, 233 untuk sekolah
menengah pertama dan 1025 untuk sekolah dasar. Serta perekrutan guru baru
telah di sekolah sebanyak 79 guru di
sekolah menengah atas, 486 guru di sekolah menengah pertama dan 4122 guru di
sekolah dasar. Struktur sekolah umum di Myanmar menggunakan pola 5-4-2, yaitu
lima tahun primer, empat tahun menengah bawah (pertama), dan dua tahun menengah
atas.
Pendidikan dasar di
Myanmar pada tahun 2010 s.d. 2011 diperkirakan jumlah peserta didik yang
mendaftar ke sekolah adalah 84,61%
dan menunjukkan bahwa tidak semua
peserta didik yang sekolah tersebut dapat sampai berhasil menyelesaikan sekolah
dasar, mereka hanya sampai pada kelas 5.
Hal tersebut dikarenakan terjadi kendala yang berhubungan dengan keterjangkauan
biaya sekolah dan akses. Menjelang akhir tahun sekolah dasar, hanya sekitar 70%
peserta didik yang mulai di sekolah dasar lima tahun yang sebelumnya tetap
terdaftar. Namun sekitar 50% peserta didik yang bersekolah selama 6 tahun
(kelas 6) yang masih bertahan atau masih terdaftar sebagai murid. Kemudian terus berlanjut pada kelas 10 hanya
sekitar 28,6% peserta didik yang dapat bertahan di sekolah dasar sebagai murid.
Sedangkan antara kelas 10 dan kelas 11, dan pada tahun terakhir sekolah
menengah hanya 23,9% dari peserta didik yang ada masih terdaftar sebagai.
8.
Kebijakan Pendidikan di Thailand
Berdasarkan data pada
Welle (2019), Thailand merupakan salah satu negara di Asia Tenggara yang
memiliki anggaran pendidikan tertinggi yaitu sebesar 7,8% dari Produk Domestik
Brutto. Saat ini negeri gajah putih sebutan akrab untuk negara Thailand
menempati posisi 89 pendidikan terbaik di dunia dengan skor EDI sebesar 0,608
dan menempati peringkat ke empat pendidikan terbaik di Asia Tenggara.
Thailand memiliki
populasi penduduk sebanyak 67,6 juta pada tahun 2011. Pertumbuhan tingkat
ekonomi Thailand selama dua dekade terakhir relatif kuat, yaitu dengan tingkat
PDB per kapita pada 2011 adalah US $ 5.116 dan Bank Dunia mengklasifikasikan
ekonominya sebagai 'pendapatan menengah ke atas'. Namun proporsi populasi
masyarakatnya yang hidup di bawah garis kemiskinan nasional tetap sangat
tinggi, yaitu 7,2% pada tahun 2011. Thailand didominasi hampir 95% sebagai
negara dengan pemeluk agama Buddhis dan komunitas Muslim disana relatif kecil
tapi khas (hampir 5%) tinggal terutama di provinsi selatan berdampingan dengan
Malaysia. Sekitar 75% dari populasi penduduk yang ada di Thailand, terdapat
14% etnis Cina dan 3% etnis Melayu serta
terdapat kelompok etnis lain yang termasuk masyarakat yang tinggal di daerah
dataran tinggi yang membentang ke Laos, Kamboja, dan Myanmar.
Konstitusi Thailand tahun
1997 menyatakan bahwa semua orang Thailand memiliki hak yang sama untuk
menerima setidaknya 12 tahun pendidikan dasar yang berkualitas dan gratis.
Undang-undang lain yang juga berkaitan dengan sistem pendidikan yaitu pada
tahun 2008 terdapat promosi Undang-undang Pendidikan Non-Formal dan Informal
dan Undang-undang Pendidikan Kejuruan.
Tingkat melek huruf orang
dewasa di Thailand terdapat sebanyak 96,1% pada tahun 2010 sedikit di atas
rata-rata regional UNESCO dari 94,7% pada tahun 2011 dan tingkat melek huruf
yang sedang dicapai oleh kaum muda berusia 15 hingga 24 tahun sebanyak 96,4%
untuk pria dan 96,3% untuk wanita. Struktur sekolah Thailand sesuai dengan pola
6-3-3, yaitu enam tahun primer, tiga tahun menengah bawah, dan tiga tahun studi
menengah atas. Sejak tahun 2009, Kementrian Pendidikan Thailand telah melampaui
persyaratan legislatif Thailand dengan menyediakan 15 tahun pendidikan dasar
gratis, termasuk tiga tahun pendidikan pra-sekolah dasar. Durasi wajib belajar
di Thailand adalah 9 tahun, yang
meliputi enam tahun sekolah dasar dan tiga tahun sekolah menengah
pertama. Hasil PISA untuk tahun 2009, misalnya, menunjukkan bahwa sebagian
besar siswa Thailand berada di bawah rata-rata OECD di bidang membaca,
matematika dan sains ilmiah. Memang, “hampir setengahnya siswa Thailand tidak
memiliki keterampilan membaca dan sains dasar; dan lebih dari setengahnya tidak
memiliki dasar keterampilan matematika.
Kebijakan Menteri
Pendidikan Thailand saat ini fokus pada reformasi pendidikan di enam bidang,
yaitu: reformasi kurikulum; reformasi belajar-mengajar; pengujian, penilaian
dan evaluasi peserta didik; sistem penerimaan universitas; evaluasi,
akreditasi, dan promosi guru; dan penilaian lembaga pendidikan. Keenam bidang
ini harus saling terkait dan fokus pada kualitas pelajar dan prestasi.
Selanjutnya, evaluasi, akreditasi, dan promosi guru akan didasarkan pada
kinerja dan prestasi siswa. Kesetaraan gender dalam hal akses menuju peluang
pendidikan umumnya tidak menjadi tantangan yang signifikan untuk negara
Thailand, di mana paritas gender ada di sebagian besar sistem sekolah, kecuali
dalam hubungannya untuk mengulang nilai di sekolah dasar. Anak laki-laki dalam
pendidikan dasar di Thailand jauh lebih banyak kemungkinan harus mengulang
kelas daripada anak perempuan. Hal ini juga terbukti dalam pendidikan menengah.
Anak laki-laki di Thailand juga lebih kecil kemungkinannya untuk melakukan
transisi dari awal ke awal sekolah menengah. Oleh karena itu anak perempuan
lebih mungkin daripada anak laki-laki untuk berpartisipasi dalam sekolah
menengah. Bahkan dengan dana pinjaman siswa untuk membantu anak-anak dari keluarga
miskin cenderung lebih kecil kemungkinannya anak-anak dari keluarga kaya tetap ingin di sekolah untuk menyelesaikan
pendidikan menengah atas, dan untuk melanjutkan ke pendidikan tinggi. Anak-anak
paling tidak menyelesaikan pendidikan menengah atas termasuk anak-anak yang
tinggal di daerah pedesaan yang terpencil, dari keluarga imigran, dan dari
komunitas etnis di Timur Laut, Utara dan Selatan yang jauh.
Pendidikan sekolah dasar
di Thailand telah melakukan reformasi kurikulum utama yakni pada delapan mata
pelajaran inti, meliputi: bahasa Thailand, matematika, sains, ilmu sosial,
kesehatan dan pendidikan jasmani, seni, karier dan teknologi, dan bahasa asing.
Pendidikan sekolah dasar di Thailand adalah wajib, namun terdapat kendala bagi
masyarakat yang tinggal di daerah pedesaan yang terpencil. Sehingga tingkat
partisipasi masyarakat yang bersekolah pada jenjang sekolah dasar hanya 89,7%
di tahun 2010. Disamping itu, beberapa kendala lainnya yaitu di Thailand
kekurangan guru yang berkualitas dan terlatih, kemudian kurangnya insentif
untuk guru yang unggul atau profesional (terutama mereka yang memiliki keahlian
dalam sains, matematika dan bahasa Inggris) untuk bekerja di daerah terpencil
di negara ini, dan kurangnya ketersediaan materi pembelajaran berkualitas
tinggi, terutama materi yang bisa didapat dipekerjakan dengan dukungan dari
layanan dan sumber daya Internet.
9.
Kebijakan Pendidikan di Malaysia
Negara yang biasa disebut
sebagai Negeri Jiran atau Malaysia menurut Welle (2019) menempati posisi ke 62
dalam daftar pendidikan terbaik dunia dan menduduki peringkat ke tiga
pendidikan terbaik di ASEAN. Dalam Indeks Pendidikan UNDP, Malaysia memiliki
skor sebesar 0,671. Hal ini didukung dengan tingkat literasi yang dimiliki
penduduk dewasa Malaysia yang mencapai 94%. Dibalik kesuksesan tersebut, Malaysia memiliki
tuntutan yang besar terhadap perguruan tinggi. Hali ini menggambarkan bahwa
pertubuhan ekonomi negara yang cepat dan orang-orang Malaysia yang merasa
penting terhadap pendidikan tinggi. Namun, tempat pendidikan tinggi yang
tersedia dalam negeri tidak memenuhi kebutuhan, sehingga lebih 50% siswanya
belajar diluar negeri. Menurut orang Malaysia pilihan untuk belajar diluar
negeri terlalu mahal. Sementara itu, masalah muncul di universitas-universitas
Australia yang terlalu percaya pada dana yang berasal dari pendidikan
internasional. Untuk menurunkan biaya pendidikan, maka universitas di Australia
melakukan kerjasama dengan sejumlah PT (swasta) Malaysia yang mana dilakukan
dengan menerapkan program kembar twinning. Mahasiswa dalam program ini
kuliah setahun di Malaysia dan menyelesaikan sisa pendidikannya di Australia
agar memenuhi kualifikasi Australia. Dengan program tersebut pemerintah
Malaysia tidak perlu investasi dalam mengembangkan sistem pendidikan tinggi
negeri selama masih memenuhi kebutuhan pembangunan ekonomi yang cepat dan
beragam. Begitu pula Australia merasa diuntungkan dalam hal perluasan pasar
pendidikannya.
Namun masalah baru muncul
ketika hasil riset memberikan data bahwa
70% mahasiswa yang mengikuti program ini berlatar belakang etnis China yang
mana warga etnis China hanya 35% dari komposisi penduduk Malaysia. Sementara
penduduk bumi putranya (muslim dan orang melayu) tidak maju. Di Malaysia
mahasiswa yang belajar dan memperoleh gelar dari luar negeri memperoleh
keuntungan yang tidak terduga dalam prospek kerjanya di lembaga atau perusahaan
swasta, hal ini karena perusahaan swasta lebih tertarik dengan mahsaiswa yang
lulusan luar negeri dengan kemampuan bahasa inggrisnya. Sedangkan keuntungan
bagi mahasiswa yang belajar di dalam negeri prospek kerja bagi mereka yaitu di
lembaga pemerintahan. Namun kenyataan yang terjadi para mahasiswa di Malaysia
ingin belajar diluar negeri dengan anggapan bahwa gelar dari barat lebih
berharga dan dibutuhkan oleh pasar kerja Malaysia maupun internasional.
sehingga lebih dari ¾ mahasiswa memilih jurusan perdagangan, manajemen ekonomi,
dan bisnis. Dimana hampir semua pekerjaan dibutuhkan. Dengan semakin majunya
ekonomi Malaysia, maka Malaysia menjadi global dan pendidikan internasional
menjadi lebih menarik terutama bagi mahasiswa yang membutuhkan pendidikan.
Dilema yang dihadapi
Malaysia adalah kepentingan ekonomi melalui pendidikan swasta internasional dan
kepetingan pembangunan bangsa melalui pembangunan sektor pendidikan negeri.
Pasar tenaga kerja Malaysia ingin tetap memenuhi tuntutan ekonomi global,
tetapi tidak ingin tradisi bangsa hilang. Oleh karena itu dalam waktu yang
bersamaan Malaysia membangun pendidikan swasta di dalam negerinya. Begitu pula
kebijakan pendidikan tingginya dibangun sesuia dengan kebutuhan globalisasi.
Kebijakannya ditujukan pada dua fokus kebijakan yaitu pembangunan SDM untuk
keutuhan Malaysia dalam kancah globalisasi dan memberikan kebebasan dengan adanya
peluang bagi sektor swasta dalam pendidikan. Semula kebijakan penggunaan bahasa
Malaysia sebagai pengantarnya, tetapi sekarang diberikan kebebasan dengan
pengantar bahasa Inggris (Fattah, 2013).
Sistem sekolah dasar di
Malaysia hampir seluruhnya bersifat publik, tanpa adanya biaya yang harus
dikeluarkan untuk sekolah. sistem sekolah secara keseluruhan hampir seluruhnya
merupakan sistem publik. Pada tahun 2011, hanya 3% dari seluruh peserta didik
yang berusia 7 tahun hingga 17 tahun terdaftar di sekolah swasta, dengan dua
kategori yaitu sekolah nasional yang menyediakan 75% dari semua siswa sekolah
dasar, dengan sekolah nasional yang terdapat berbahasa Mandarin atau
Tamil-medium. Namun dari macam-macam sekolah tersebut seluruh sekolah dasar
harus mengajarkan Bahasa Malaysia dan Bahasa Inggris, dan seluruh sekolah harus
mengikuti silabus yang sama untuk mata pelajaran non-bahasa, apa pun bahasa
yang digunakan sebagai pedoman. Hal tersebut dikarenakan adanya kritikan yang
mana adanya stereotipe yang mengatakan dengan adanya macam-macam sekolah
tersebut mengakibatkan pemisahan pendidikan dasar ke dalam beberapa kategori
dapat berkontribusi terhadap polarisasi
etnis sejak usia dini. Dengan demikian sistem penilaian yang berlaku di
Malaysia yang mana menentukan apakah peserta didik dapat melanjutkan ke jenjang
sekolah yang lebih tinggi yaitu dengan adanya Penilaian Sekolah Dasar yang
ditetapkan secara nasional dengan salah satu objek yang diuji terdapat Bahasa
Malaysia disamping Bahasa Inggris, Matematika, dan Sains.
10.
Kebijakan Pendidikan di Singapura
Gambar 1 Lanskap Pendidikan di Singapura
Sumber: Rajvaramethi , dkk. (2017: 29).
From figure 1
showed that students taking the mainstream curriculum in Pathlight School will
sit for the PSLE, and may also sit for the N- or OLevel exams. Specialized
schools offer customized programs for students who are inclined towards
hands-on and practical learning. Some also offer N (T) - Level exams. These
schools are Northlight School, Assumption Pathway School, Crest Secondary
School and Spectra Secondary School. Specialized Independent Schools offer
specialized education catering to students with talents and strong interests in
specific fields, such as the arts, sports, mathematics and science, and applied
learning. These schools are the School of the Arts, Singapore Sports School,
National University of Singapore (NUS) High School of Mathematics and Science,
and the School of Science and Technology. Eligible students of the Singapore
Sports School can progress directly to Republic Polytechnic. Eligible students
of the School of the Arts can pursue a diploma program at the Nanyang Academy
of Fine Arts via special admissions after their fourth year of study. Alternative Qualifications refer to
qualifications not traditionally offered at mainstream schools in Singapore. Dari
gambar 1 diatas dapat diketahui sistem/kebijakan pendidikan di Singapura menunjukkan bahwa siswa mengambil kurikulum
arus utama di Pathlight School akan mengikuti PSLE, dan mungkin juga mengikuti
ujian N- atau OLevel (Rajvaramethi, etc: 2017).
Singapura memiliki sistem
pendidikan yang kuat dan para siswanya memiliki cita-cita yang tinggi dan
mendapatkan hasil serta penghargaan yang sangat baik. Hal Ini diakui di seluruh
dunia. Singapura punya sekolah dengan akreditasi yang baik, dan pemimpin
sekolah serta guru-guru yang cakap, dan fasilitas yang memadai di antara yang
terbaik di dunia. Sistem ini mencoba untuk membangun kekuatan dalam
mempersiapkan generasi penerus Singapura di masa yang akan datang. Hal ini
adalah masa depan yang mana dapat membawa peluang yang luar biasa terutama di
Asia, tetapi juga akan membawa banyak perubahan yang tidak dapat diprediksi pada
hari ini. Tugas sekolah dan lembaga tersier adalah untuk memberi kaum muda
kesempatan dalam mengembangkan
keterampilan, karakter, dan nilai-nilai yang akan memungkinkan mereka untuk
terus berbuat baik dan merebut Singapura sebagai negara yang maju di masa
depan. Berdasarkan data pada Welle (2019), saat ini Singapura menduduki
peringkat ke sembilan dalam Indeks Pendidikan UNESCO dengan skor 0,768. Pada
tahun 2013 silam, Singapura tercatat hanya terdapat 1,3% siswa yang tidak dapat
menuntaskan pendidikan.
Dalam beberapa tahun
terakhir, Singapura bergerak menuju sistem pendidikan yang lebih fleksibel dan
beragam dan bertujuan untuk memberikan siswa pilihan yang lebih baik dalam memenuhi
minat dan cara belajar mereka yang berbeda. Mereka akan dapat memilih apa dan
bagaimana mereka belajar dan akan mendorong mereka untuk mengambil tanggung
jawab yang lebih besar dalam pembelajaran mereka. Pendidikan umum berguna untuk
memastikan bahwa siswa telah mendapatkan beragam atau seluruh kebutuhan perkembangan
holistic di dalam dan di luar kelas. Pendekatan-pendekatan
dalam pendidikan ini akan memungkinkan penyedia pendidikan untuk mengurus
dengan mudah berbagai keterampilan yang berbeda yang dimiliki oleh para siswa dalam
memenuhi kebutuhan mereka di masa yang akan datang. Sistem kebijakan di
Singapura juga menyediakan pada setiap anak menemukan bakatnya sendiri dan
tumbuh serta berkembang dari sekolah yang yakin akan kemampuannya. Siswa akan
didorong untuk mengikuti hasrat mereka, dan mempromosikan keanekaragaman bakat
di antara mereka di bidang akademik, olahraga dan karya seni.
Kurikulum dan instruksi
di Singapura sangat memotivasi negara-negara lain dalam membuat suatu kebijakan
pendidikan. Hal ini dikarenakan dalam hal belajar-mengajar, siswa Singapura
akan terdorong untuk bertanya dan mencari jawaban, mau berpikir tentang inovasi
atau cara baru, memecahkan masalah baru dan menciptakan peluang baru di masa
depan. Kurikulum tersebut memiliki kemungkinan dalam menghadapi tantangan
dengan masalah sosial, seperti sosial emosi dan pelajar yang lambat. Sedangkan penilaian
tugas fokus pada kualitas pemahaman siswa dan cenderung mendorong guru untuk
merancang tugas instruksional. Ini dapat memberikan banyak peluang dalam
belajar dan dapat mendorong pekerjaan serta pengetahuan siswa menjadi berkualitas tinggi
dan pembelajaran dapat lebih mendalam. Sebagai tambahan, siswa di Singapura
juga dilatih sama pentingnya untuk membangun satu set suara nilai-nilai,
sehingga mereka memiliki kekuatan karakter dan ketahanan untuk menghadapi
kehidupan dan kemunduran yang tak terhindarkan tanpa harus berkecil hati.
Hasilnya, mereka memiliki kemauan untuk bekerja keras untuk mencapai impian
mereka.
Kurikulum sekolah dasar
di Singapura disampaikan dalam dua tahap. Yang pertama adalah sebuah yayasan
tahap (kelas 1 hingga 4), dan yang kedua adalah tahap orientasi (kelas 5 dan
6). Setelah selesai dari tahap orientasi, peserta didik duduk untuk ujian
nasional, Meninggalkan Sekolah Dasar Pemeriksaan (PSLE). Pemeriksaan ini
berguna untuk menilai kinerja siswa di empat mata pelajaran, yakni: Bahasa
Inggris, Bahasa Ibu Bahasa, Matematika, dan Sains. Peserta didik memilih
sekolah menengah mereka berdasarkan pada skor PSLE mereka. Fokus mengajar di
tingkat sekolah dasar adalah membantu peserta didik untuk memperoleh
nilai-nilai yang tinggi dan keterampilan hidup dasar, serta untuk mengembangkan
fondasi bahasa dan keterampilan berhitung. Peserta didik belajar tiga mata
pelajaran inti, yaitu: Bahasa Inggris, yang kedua bahasa (bahasa ibu mereka)
dan yang ketiga yaitu matematika. Mereka juga belajar seni, kewarganegaraan dan
pendidikan moral, musik, studi sosial dan pendidikan jasmani. Ilmu pengetahuan
sebagai suatu bidang studi tidak diperkenalkan sampai kelas 3. Di tahap
orientasi sekolah dasar, mereka mempelajari mata pelajaran di salah satu
yayasan atau tingkat standar, tergantung pada kecepatan yang cocok bagi mereka
dalam mempelajari. Sekolah dasa disini pada umumnya menyediakan program
pendukung pembelajaran untuk anak-anak di tahun-tahun awal yang mengalami
kesulitan dalam menyesuaikan diri dengan sekolah formal. Disampint itu, juga
tersedia program untuk membantu anak-anak yang berbakat intelektual.
11.
Kebijakan Pendidikan di Timor Leste
Timor Leste merupakan
salah satu negara di kawasan Asia Tenggara dan baru bergabung dengan
Perserikatan Bangsa-Bangsa Asia Tenggara pada tahun 2012. Tingkat populasi
penduduk di negara ini mencapai 1,185 juta jiwa serta memiliki PDB per kapita
sebesar $ 1,442 milyar. Jumlah PDB per kapita yang tergolong rendah pada suatu
negara menyebabkan kurangnya kesejahteraan pada masyarakat terutama untuk
memperoleh kesempatan pendidikan yang berkualitas. Namun, hal tersebut tidak
menyurutkan semangat dan komitmen dari pemerintah untuk terus meningkatkan
kesejahteraan masyarakat dan mengembangkan pendidikan. Dengan pendidikan yang
berkualitas diharapkan masyarakat dapat ikut serta berpartisipasi untuk
mengembangkan ekonomi, sosial dan politik di negara tersebut. Menurut Global Partnership for Education
(2018) menyatakan bahwa dalam 5 tahun, tingkat pastisipasi murni tumbuh
mencapai 16% yaitu dari 67% menjadi 83% dan kesenjangan gender menurun secara
signifikan. Disisi lain, pendidikan Timor Leste masih menghadapi beberapa
tantangan. Yaitu angka putus sekolah dan pengulangan masih cukup tinggi,
sementara itu banyak anak yang memulai sekolah pada usia yang kurang tepat.
Menurut Wardiqa (2017),
mengungkapkan bahwa Rencana Strategis Pendidikan Nasioanl 2011-2030 memiliki
tujuan yaitu untuk mencapai penyelesaian secara universal mengenai pendidikan
dasar, menghilangkan angka buta huruf, dan memastikan kesetaraan gender melalui
program prioritas, strategis, dan kegiatan di pendidikan baik pada pendidikan
anak usia dini, dasar, menengah, tinggi, maupun berulang. Berdasarkan data dari
Global Partnership for Education (2018) menjelaskan bahwa, program GPE (Global
Partnership for Education) yang diterima oleh Timor Leste sebesar $ 2,5 juta,
anggaran ini difokuskan pada penguatan kapasitas sistem pendidikan. Lebih
lanjut, program ini bermanfaat untuk para staf kementerian pendidikan yang
bertujuan memberikan manfaat bagi para siswa dan guru dalam sistem pendidikan
yang dilaksanakan. Program GPE ini dipimpin oleh kementerian pendidikan dengan
Bank Dunia sebagai agen pemberi dana bantuan dan UNICEF sebagai koodinator.
Tujuan dari diadakannya program GPE yaitu untuk memberikan bantuan pendanaan
bagi negara-negara yang berpenghasilan rendah guna mencapai tujuan MDG, khususnya
mengupayakan kepada anak-anak agar mendapatkan kesempatan untuk mengakses
pendidikan terutama pada pendidikan dasar pada tahun 2015. Menurut Ms Bellamy
dalam Kementerian PPN/Bappenas (2012) menyatakan bahwa, terdapat beberapa
negara berpendapatan rendah yang menjadi target program GPE diantaranya yaitu
Kamboja, Nepal, Mongolia, dan Timor Leste.
Ahelin (2016) menyatakan
bahwa, UNICEF mendukung Kementerian Pendidikan dan Olahraga untuk mengebangkan
pendidikan Timor Leste. Pengembangan ini dilakukan dengan cara pembuatan
Undang-Undang Dasar Pendidikan (2008), Undang-Undang Pendidikan Dasar (2010),
Kerangka Kebijakan Nasional untuk pendidikan Pra-sekolah (2014), Pedoman WASH
in School (2016), dan Kebijakan Pendidikan Inklusif (2017). Untuk menyetarakan
pendidikan, timor Leste menerapkan model pra-sekolah berkelanjutan yaitu model
penyampaian alternative untuk program pembelajaran awal yang bertujuan untuk
membantu anak-anak didaerah terpencil sehingga dapat memperoleh pendidikan yang
berkualitas. Sedangkan pendekatan yang digunakan Timor Leste untuk
mengembangkan pendidikannya yaitu dengan menggunakan pendekatan sekolah ramah
anak yang biasa dikenal secara lokal “Eskola Foun” atau “sekolah baru”.
Pendekatan ini mempromosikan mengenai pembelajaran yang berpusat pada anak.,
meningkatkan manajemen sekolah, linkungan sekolah yang nyaman, partisipasi
aktif orang tua dan masyarakat di sekolah , pentingnya fasilitas air, sanitasi
dan kebersihan yang aman, peka gender dan berkelanjutan di sekolah.
Kedudukan
dan Kondisi Pendidikan Indonesia di Kancah ASEAN
Berdasarkan data diatas,
dapat dikatakan bahwa mutu pendidikan di Indonesia masih tertinggal dengan
negara tentangga seperti Singapura, Brunei Darussalam, Malaysia, dan Thailand.
Maka dari itu, perlu adanya perbaikan yang dilakukan oleh pemerintah baik dari
segi layanan maupun mutu dari pendidikan itu sendiri. Sebab, jika pemerintah
tidak segera membenahi sektor pendidikan maka secara langsung maupun tidak
tidak langsung akan berimbas pada perkembang sektor lainnya. Karena pendidikan
merupakan faktor utama dalam menentukan martabat dan peradaban suatu bangsa
menjadi lebih maju.
Mutu
pendidikan merupakan kemampuan sekolah dalam mengelola komponen-komponen yang
ada sehingga dapat mencapai tujuan sekolah secara efektif dan efisien.
Sedangkan pendidikan yang bermutu adalah sekolah dapat menghasilkan lulusan
yang berkualitas ditandai dengan memiliki kemampuan atau potensi, baik potensi
akademik maupun kejuruan yang berlandaskan pada ilmu, iman, dan akhlak yang
seluruhnya merupakan kecakapan hidup. Untuk mencapai pendidikan yang bermutu,
pendidikan di Indonesia masih mengalami problema-problema. Menurut Fadhillah
& Hermawan (2017) mengungkapkan bahwa terdapat tujuh permasalahan
pendidikan di Indonesia yang harus diselesaikan oleh pemerintah untuk
mewujudkan Nawacita dalam bidang pendidikan berdasarkan JPPI (Jaringan Pemantau
Pendidikan Indonesia), yaitu:
1. Nasib program wajib belajar (wajar) 12 tahun. Program
ini masih berada di persimpangan jalan. Alasannya yaitu program ini masih belum
memiliki dasar hukum yang je las, sehingga tidak ada yang dapat mendorong untuk
mewujudkan program tersebut.
2. Angka putus sekolah dari jenjang SMP ke SMA mengalami
kenaikan. Hal tersebut dipicu marak terjadinya pungutan liar di jenjang SMA. Banyak
kabupaten/kota yang sebelumnya mengratiskan jenjang SMA, kini mulai resah
karena banyaknya provinsi lain yang membolehkan penarikan iuran dan SPP untuk
menutupi kekurangan anggaran pendidikan. Menurut A. Ubaid Matraji dalam
Fadhillah (2017) menyatakan bahwa, alih wewenang pengelolaan jenjang sekolah
menengah belum dapat menjawab kebutuhan wajib belajar 12 tahun. Namun, hal ini
justru menimbulkan permasalahan baru bagi pendidikan di Indonesia.
3. Pendidikan agama di sekolah. Pendidikan agama islam
yang diajarkan di sekolah perlu adanya dilakukan evaluasi baik dari metode
pengajaranannya maupun dari guru yang mengajarkannya. Berdasarkan penelitian
Pusat Pengkajian Islam dan Masyarakat UIN Jakarta dalam Fadhillah (2017)
mengungkapkan bahwa, terdapat 78% guru Pendidikan Agama Islam (PAI) setuju jika
pemerintah berdasarkan syariat islam dan 77% guru PAI di sekolah mendukung
organisasi-organisasi yang memperjuangkan syariat islam. Jika hal tersebut
terus menerus dibiarkan dapat mengancam keutuhan NKRI yang telah dibangun
bertahun-tahun yang lalu. Serta dapat menimbulkan rasa intoleran dan sikap
radikal beragama yang tumbuh subur di sekolah.
4. Lemahnya pengakuan negara atas pendidikan pesantren
dan madrasah (diniyah). Kurang diakuinya pendidikan pesantren karena tidak
sejalan dengan kurikulum nasional yang telah ditetapkan. Padahal peran
pendidikan pesantren ini sangat begitu besar jauh sebelum Indonesia merdeka,
namun sekarang peran pesantren termarginalkan karena alasan tersebut. Serta
belakangan ini banyak kekerasan yang mengatas namakan agama, SARA, dan
benih-benih radikalisme tumbuh semakin subur. Hal tersebut, dipicu karena
pendidikan agama yang diajarkan di sekolah belumlah cukup untuk menjawab
gejolak perbedaan paham agama yang semakin kuat. Maka dari itu, sekolah perlu
melakukan kerjasama dengan lembaga pesantren dan madrasah diniyah guna
meningkatkan pemahaman siswa akan agama secara komprehensif (tafaqquh fiddin), yang bervisi pada rahmatan lil alamin.
5. Kartu Indonesia Pintar (KIP). Pendistribusian KIP
haruslah tepat sasaran dan tepat waktu. Pendistribusian yang lambat, alokasi
yang kurang akurat, dan banyaknya terjadi penyelewengan anggaran sehingga
menghambat pengimplementasian program tersebut. Tidak hanya KIP tetapi juga
program BOS dan BSM yang telah digulirkan pemerintah masih belum berjalan
secara maksimal. Sebab, masih ada banyak anak-anak usia sekolah yang putus atau
tidak melanjutkan sekolah. Anak-anak tersebut didominasi oleh kelompok
masyarakat miskin dan anak-anak yang memiliki kebutuhan khusus. Dalam hal ini
anak-anak kesulitas dalam mengakses pendidikan terutama pada anak kebutuhan
khusus. Khusus untuk difabel, mereka terkendala dengan menemukan sekolah
inklusi. Pada akhirnya, mereka harus bersekolah dengan teman yang senasib dan
menjadikannya lebih terekslusi dari realitas sosial.
6. Kekerasan dan pungutan liar di sekolah. Potret wajah
pendidikan di Indonesia masih diwarnai dengan adanya kasus kekerasan dan
pungaduan pungli. Komponen yang ada disekolah meliputi guru dan siswa, dimana
satu sama lain saling berperan ganda. Artinya bahwa, masing-masing dari mereka
dapat berperan sebagai pelaku dan dapat berperan juga sebagai korban. Penerapan
sekolah ramah anakpun sangat penting untuk direvitalisasi. Namun, disisi lain
fakta bahwa pungutan liar tidak dapat dikelndalikan terutama pada
sekolah-sekolah negeri yang seharusnya bebas dari pungutan.
7. Ketidaksesuaian antara dunia pendidikan dan dunia
kerja. Ketidaksesuaian antara dunia pendidikan dan dunia kerja merupakan
masalah yang hingga sekarang masih belum juga terselesaikan. Lulusan yang
dihasilkan oleh sekolah belum dapat menjawab kebutuhan konsumsi industri yang
siap pakai, hal ini menyebabkan banyaknya angkatan kerja yang masih belum
mempunyai pekerjaan. Saat ini angkatan kerja yang belum mempunyai pekerjaan
mencapai lebih dari tujuh juta angkatan kerja. Disaat yang sama pula,
perusahaan kesulitan dalam merekrut tenaga kerja yang terampil, hal ini
dipengaruhi oleh terbatasnya tenaga kerja terampil yang tersedia. Maka dari
itu, perbaikan dan penyempurnaan kurikulum yang dilakukan haruslah dapat
menjawab permasalahan tersebut.
Dari permasalahan-permasalahan tersebut terdapat
solusi-solusi yang dapat diberikan untuk menyelesaikannya, menurut Didno (2015)
diantaranya yaitu:
1. Pemerintah perlu meninjau ulang mengegai penerapan
kurikulum 2013.
2. Perlunya penambahan pendidikan moral dan keagamaan
mulai dari SD sampai perguruan tinggi.
3. Mengadakan kegiatan pelatihan kepada seluruh guru di
Indonesia oleh pemerintah guna meningkatkan kualitas dan kompetensi guru.
4. Pemberian tunjangan pendidikan oleh pemerintah
haruslah adil dan tepat dengan sasaran.
5. Pemerintah haruslah mengkaji ulang mata pelajaran yang
diajarkan di sekolah yang mengacu pada kebutuhan masa depan baik bagi siswa sendiri maupun bagi kebutuhan
lapangan pekerjaan.
6. Peran serta partisipasi dari orang tua sangat
dibutuhkan untuk perkembangan dan kemajuan pendidikan.
Sementara itu, menurut
Widodo (2015:306) mengungkapkan bahwa masalah-masalah pendidikan yang ada,
meliputi: (1) rendahnya sarana fisik; (2) kualitas guru; (3) kesejahteraan
guru; (4) prestasi siswa; (5) rendahnya kesempatan pemerataan pendidikan; (6)
relevansi pendidikan dengan kebutuhan; (7) mahalnya biaya pendidikan. Sedangkan
solusi yang dapat ditawarkan untuk menyelesaikan masalah tersebut yaitu: (1)
pemerintah dapat mengawasi alur penyaluran dana BOS yang diberikan ke sekolah,
sehingga dana yang disalurkan sesui dengan sasaran; (2) guru diberikan
pelatihan-pelatihan maupun workshop guna meningkatkan kompetensi yang
dimilikinya; (3) pemerintah dalam memberikan kesejahteraan guru haruslah adil
dan seimbang dengan jasa yang diberikan guru dalam mengembangkan pendidikan,
sehingga guru akan bersemangat jika antara kesejahteraan dan jasa yang
diberikan seimbang ; (4) adanya perbaikan mutu pendidikan dan layanan
pendidikan oleh pemerintah serta menerapkan kurikulum K-13 yang berbasis
scientific approach; (5) upaya yang telah dilakukan oleh pemerintah saat ini
yaitu dengan memberikan BSM dan KIP bagi masyarakat kurang mampu, namun
pemerintah juga perlu mengawasi dalam pendistribusian program tersebut apakah
sudah memenuhi sasaran ataukah belum; (6) memberikan bekal keterampilan pada
siswa sehingga ketika siswa sudah lulus keterampilannya dapat terserap secara
langsung oleh DUDI.
Jadi, dalam meningkatkan
mutu dan layanan pendidikan perlu adanya kerjasama antara pemerintah dengan
masyarakat. Jika masyarakat dan pemerintah dapat bekerjasama secara baik maka
perkembangan pendidikan untuk mencapai pendidikan yang bermutu bukanlah hanya
sebuah cita-cita saja, namun dapat terealisasikan. Maka dari itu selain
pemerintah seluruh komponen masyarakat haruslah turut serta berpartisipasi
dalam meningkatkan mutu pendidikan. Sehingga Indonesia tidak hanya dikenal
sebagai sasaran atau pangsa pasar yang menggiurkan saja bagi negara-negara
maju, melainkan dapat ikut serta sebagai pelaku utama dalam ajang pasar dunia.
Fungsi
Kerjasama ASEAN di Bidang Pendidikan (SEAMEO) dan Dampak yang Dapat Dirasakan
bagi Negara Indonesia
Kerjasama antara
negara-negara di ASEAN sangatlah memberikan dampak positif bagi para anggotanya
tak terkecuali kerjasama dalam bidang pendidikan. Hal tersebut dikarenakan
pendidikan dinilai memainkan peran penting dalam mempersempit kesenjangan
pembangunan di kawasan ASEAN. Bukti kerjasama ASEAN dalam bidang pendidikan
yaitu dengan digalakkannya Rencana Kerja 5-Tahun ASEAN tentang Pendidikan
(2011-2015) yang terdapat lima prioritas diantaranya yaitu (1) Mempromosikan
kesadaran ASEAN, yang mana kesadaran akan ASEAN secara khusus ditanamkan dengan
baik melalui kurikulum di sekolah khususnya di sekolah dasar; (2) Meningkatkan
akses ke pendidikan dasar dan menengah yang berkualitas; (3) Meningkatkan
kualitas pendidikan - standar kinerja, pembelajaran seumur hidup dan pengembangan
profesional; (4) Mobilitas lintas batas dan internasionalisasi pendidikan; dan
(5) Dukungan untuk badan sektoral lainnya dengan minat pendidikan.
Disamping itu terdapat
pula kebijakan bidang pendidikan dikawasan ASEAN terhimpun dalam satu lembaga
organisasi yang biasa disebut dengan SEAMEO atau Southeast Asian Ministers of
Education Organization. SEAMEO adalah kunci dari stakeholder dalam dunia
pendidikan atau pemangku kepentingan pendidikan utama di ASEAN. Dewan
pengurusnya terdiri atas sebelas Menteri Pendidikan dari masing-masing Negara
Anggota ASEAN, diantaranya Brunei
Darussalam, Kamboja, Indonesia, Laos, Malaysia, Myanmar, Filipina, Singapura,
Thailand, Timor Leste, dan Vietnam. Dalam praktiknya, mereka merupakan pemangku
kepentingan utama (stakeholder utama) di ASEAN dan memberikan kontribusi yang
signifikan untuk pencapaian aspirasi ASEAN. SEAMEO telah ada sejak tahun 1965.
Di bidang pendidikan, bidang-bidang prioritas SEAMEO diantaranya keterampilan
abad ke-21; pengembangan profesional berkelanjutan untuk guru dan tenaga
kependidikan; pendidikan untuk Semua; pendidikan untuk pembangunan
berkelanjutan; pendidikan yang lebih tinggi; dan pengoptimalan penerapan
strategi pembelajaran TVET (Technical and Vocational Education and Training).
SEAMEO memiliki 20 Pusat Regional yang berfokus pada pendidikan, ilmu
pengetahuan dan budaya. Serta dua belas di antaranya berfokus pada pengembangan
pendidikan. Pusat Regional SEAMEO yang pertama yaitu tentang Inovasi Pendidikan
dan Teknologi yang berada di Filipina; kemudian Pusat Regional SEAMEO untuk
Pendidikan dan Pengembangan Tinggi (SEAMEO Regional Centre for Higher Education
and Development) berada di Thailand; Pusat Regional SEAMEO tentang Pendidikan
Sains dan Matematika (SEAMEO Regional Centre on Science and Mathematics
Education) di Malaysia; selanjutnya Pusat Pelatihan Regional SEAMEO (SEAMEO
Regional Training Centre) di VietNam; Pusat Regional SEAMEO tentang Pendidikan
Teknis dan Kejuruan (SEAMEO Regional Centre on Technical and Vocational
Education) di Brunei Darussalam; Pusat Bahasa Regional SEAMEO (SEAMEO Regional
Language Centre) di Singapura dan Singapura tiga Pusat Regional SEAMEO untuk
Peningkatan Kualitas Guru dan Tenaga Kependidikan dalam Sains, Bahasa dan
Matematika di Indonesia. Semua Pusat SEAMEO tersebut melayani para anggota/
negara-negara ASEAN, dan bahkan lebih jauh lagi (diluar negara-negara di
kawasan ASEAN). Disamping itu SEAMEO
juga memiliki sepuluh proyek yang sedang dibangun dan diimplementasikan untuk
mengatasi masalah akses, kesetaraan dan kualitas pendidikan sebagai kantong
peserta didik yang membutuhkan yang berada di Asia Tenggara. Kelompok-kelompok
yang menjadi sasaran adalah mereka yang difabel yang ingin mendapatkan
kesempatan belajar, mereka yang berada pada kumpulan masyarakat di daerah terpencil,
anak-anak perempuan dan wanita, anak-anak usia pra sekolah, anak-anak yang
terkena dampak dan terinfeksi penyakit HIV dan AIDS, anak-anak yang terkena
dampak bencana alam, siswa yang berpotensi memiliki risiko putus sekolah dan
lainnya.
Melalui SEAMEO
RIHED, SEAMEO telah menerapkan Program
Mobilitas Mahasiswa itu membahas persyaratan untuk membangun mobilitas siswa
yang berkelanjutan di seluruh kelompok sukarelawan universitas di Malaysia,
Thailand, dan Indonesia. Proyek mengidentifikasi hambatan-hambatan berikut
untuk mobilitas siswa: kesulitan merekrut siswa dan mempromosikan studi ke luar
negeri kepada siswa, berbeda kalender akademik dan kesulitan mencocokkan
semester yang saling bertentangan, masalah bahasa, kurangnya kejelasan dan
fleksibilitas dalam transfer kredit, dan kebutuhan akan kerangka kerja
penjaminan kualitas regional untuk memastikan harmonisasi yang konsisten antar
program.
Dari penjelasan tersebut
dapat diketahui berbagai fungsi dari kerjasama negara-negara di kawasan ASEAN
di bidang pendidikan. Secara khusus peran dan manfaat SEAMEO dalam bekerjasama dibidang pendidikan
dengan negara Indonesia yaitu SEAMEO secara bersama-sama dengan negara
Indonesia ikut membantu membuka akses
dan meningkatkan kualitas pendidikan ke seluruh daerah, termasuk indonesia. Sedangkan
secara regional di kawasan Asia Tenggara dilansir dari berita Media Indonesia menginformasikan
bahwa Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia (Kemendikbud RI)
bekerja sama dengan Sekretariat Southeast Asian Ministers of Education
Organization (SEAMEO) menyelenggarakan Seminar Internasional yang mengangkat
tema 'Agenda Pendidikan SEAMEO untuk Asia Tenggara yang Berkelanjutan', di Kuta
Bali. Dimana seminar tersebut membahas tentang agenda pendidikan SEAMEO yang
menghasilkan tujuh agenda/area prioritas pada 2015-2035. Tujuh agenda/area prioritas yang
dibahas dalam seminar tersebut adalah mempromosikan pendidikan universal bagi
anak usia dini; mengatasi hambatan inklusi; mempromosikan ketahanan dalam
menghadapi keadaan darurat; mempromosikan pendidikan pelatihan teknis dan
kejuruan; revitalisasi pendidikan guru; harmonisasi pendidikan tinggi dan
peneliti, serta; mengadopsi kurikulum abad ke-21. Seminar tersebut dilakukan
dengan cara saling bertukar informasi tentang pendidikan di masing-masing
negara, kemudian berbagi pengalaman baik dalam menghadapi problem yang
dihadapi. Dengan seminar tersebut diharapan dapat meningkatkan kesadaran
regional dan program nasional, serta rencana aksi yang dihasilkan dari sinergi
dinamis, kekuatan, strategi, dan standar yang dikembangkan oleh negara-negara
anggota SEAMEO.
Rencana aksi tersebut
mengarah pada pengembangan paradigma pembelajaran yang inovatif dan kebijakan
pendidikan yang proaktif dalam mempromosikan tujuan pembangunan berkelanjutan
dan agenda pendidikan SEAMEO.
Selain itu, untuk
menyebarluaskan pemahaman regional tentang pendidikan, perlu adanya komitmen
untuk aksi bersama, hubungan timbal balik atau kerja sama yang lebih erat di antara aktor pendidikan dan
pemangku kepentingan di Asia Tenggara dalam memajukan kualitas pembelajaran
serta memastikan akses yang lebih luas dan menyeluruh terhadap pendidikan di
wilayah tersebut.
KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan
Pendidikan merupakan hal yang sangat
penting bagi suatu bangsa, terutama dalam memajukan dan mengembangkan peradaban
suatu bangsa. Negara-negara ASEAN menyadari bahwa pentingnya pendidikan untuk
mengembangkan persaingan di kancah global. Dengan hal itu, perlu adanya
kerjasama antar negara-negara diwilayah ASEAN terutama dalam bidang pendidikan.
Untuk menciptakan pendidikan yang bermutu tinggi dan menghasilkan SDM yang
berkualitas, maka diperlukannya pembuatan kebijakan, khusunya pada sektor
pendidikan. Kebijakan itu sendiri seperti pemerataan pendidikan di
negara-negara berkembang, penyediaan tenaga profesioanl yang memumpuni, dan
ketersediaan sarana dan prasarana yang memadai.
Serta ketersediaan SDM yang berkualitas akan dapat menjawab semua
permasalahan yang tengah terjadi di masyarakat secara profesional dan dapat
terselesaikan sesuai dengan yang diharapkan. Namun, dalam pelaksanaannya
terdapat kendala atau problema yang harus dihadapi oleh pembuat kebijakan
pendidikan diantaranya yaitu problema dalam pengambilan kebijakan, problema
yang dihadapi oleh perencana pendidikan, dan problema yang dihadapi oleh
administrator pendidikan.
Kebijakan yang diterapkan pada sektor
pendidikan disetiap negara memiliki sistem kebijakan yang berbeda-beda.
Meskipun di kawasan negara ASEAN telah ada ketentuan kurikulum yang diberikan,
yang bertujuan untuk menyetarakan mutu pendidikan di wilayah negara-negara
ASEAN. Kualitas pendidikan di wilayah ASEAN selama ini masih belum mencapai
hasil yang merata terutama pada tingkat kualitas. Disini pendidikan yang
mencapai tingkat kualitas tinggi dan
mampu bersaing dengan negara-negara maju, terutama pada negara-negara barat
dipegang oleh Singapura. Selain itu, masih terdapat negara-negara di wilayah
ASEAN yang belum dapat bersaing dengan negara-negara lain dikancah global. Kurang
dapatnya terimplementasinya kurikulum yang telah disepakati, karena adanya
beberapa hal yang mendasarinya, diantaranya yaitu: adanya perbedaan budaya,
sistem politik, dan demografi dari tiap-tiap negara yang ada. Hal ini merupakan
faktor penghambat kurang meratanya kualitas pendidikan yang ada di wilayah
negara ASEAN.
Saran
Berdasarkan pada penelitian yang
telah penulis lakukan, dapat diberikan beberapa saran mengenai kebijakan
pendidikan pada kawasan negara-negara ASEAN, diantaranya yaitu: meningkatkan
kerjasama antar negara ASEAN pada bidang pendidikan yang berorientasi pada pendidikan
tinggi yang bersektor pada penelitian dan inovasi pada bidang pendidikan dan
ilmu pengetahuan; mengadakan pelatihan dan juga pendidikan lanjut untuk
meningkatkan profesionalisme tenaga pendidik; mengadakan studi komperatif
terhadap sekolah-sekolah yang maju dan berkualitas baik; meningkatkan materi
yang ajarkan berdasarkan kurikulum yang berlaku; meningkatkan sarana
pembelajaran guna mencapai kualitas pendidikan yang bermutu; keterbukaan
pendidikan antar negara di ASEAN guna memudahkan berkembangnya suatu pendidikan.
DAFTAR RUJUKAN
Ahelin. 2016. Quality Education:
Realising Rights to Quality Education for All Children. Unicef. (Online), (https://www.unicef.org/timorleste/quality-education), diakses 05 April 2019.
Baedhowi.
2009. Kebijakan Otonomi Daerah Bidang
Pendidikan: Konsep Dasar dan Implementasi. Semarang: Pelita Insani.
Berse,
P.P. 2018. Harmonizing Higher Education at the Regional Level The Case of ASEAN
and the Philippines. International
Journal of Higher Education, 7(5), 44-53. Dari
https://files.eric.ed.gov/fulltext/EJ1191732.pdf.
Welle,
D. 2019. Rangking Pendidikan
Negara-Negara ASEAN. (Online), (https://www.dw.com/id/rangking-pendidikan-negara-negara-asean/g-37594464), diakses 08 April 2019.
Didno.
2015. Solusi Permasalahan Pendidikan Indonesia. Kompasiana. (Online), (https://www.kompasiana.com/didno76/54f766eaa3331164368b4764/solusi-permasalahan-pendidikan-indonesia), diakses 04 April 2019.
Fadhillah,
U. N. 2017. Ini Tujuh Masalah Pendidikan di Indonesia Menurut JPPI. Republika.co.id. (Online), (https://republika.co.id/berita/pendidikan/eduaction/opchjr354/ini-tujuh-masalah-pendidikan-di-indonesia-menurut-jppi), diakses 09 April 2019.
Fattah,
N. 2013. Analisis Kebijakan Pendidikan. Bandung:
PT Remaja Rosdakarya.
Global Partnership for Education.
2018. Timor Leste. (Online), (https://www.globalpartnership.org/country/timor-leste), diakses 05 April 2019.
Imron,
A. 2008. Kebijaksanaan Pendidikan di
Indonesia: Proses, Produk, dan Masa Depannya. Jakarta: PT Bumi Aksara.
Kementerian
Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia Tahun 2016 tentang Gerakan
Literasi untuk Tumbuhkan Budaya Literasi. Jendela Kemendikbud (online), (https://jendela.kemdikbud.go.id/home/downloadfile/?name=EDISI_6_
20161.pdf.),
diakses 17 Maret 2019.
Kementerian PPN/Bappenas. 2012. GPE Belajar dari Indonesia. (Online),
(https://www.bappenas.go.id/id/berita-dan-siaran-pers/features/gpe-belajar--dari-indonesia/)
, diakses 05 April 2019.
Murdaningsih, Dwi. 2015. Ini
Tantangan Tingkat Sistem Pendidikan di ASEAN. Republika.co.id. (Online), (https://www.republika.co.id/berita/pendidikan/dunia-kampus/ntl591368/ini-tantangan-tingkatan-sistem%20-pendidikan-di-asean), diakses 04 April 2019.
Rajvaramethi,
P., Rodkhunmuang, P. T. D., Dan Klomkul, L. 2017. Educational Management in
Asean Community: A Case Study of Education in Singapore. Journal of Buddhist Education and Research, 3(1), 24-34. Dari
http://www.ojs.mcu.ac.th/index.php/ijbe/article/download/2815/2106.
Suyahman.
2016. Analisis Kebijakan Pendidikan Gratis di Sekolah Menengah Atas dalam
Kaitannya dengan Kualitas Pendidikan Menengah Atas. Jurnal Pendidikan Kewarganegaraan, 6(2), 1047-1054. Dari
https://www.neliti.com/id/publications/120772/analisis-kebijakan-pendidikan-gratis-di-sekolah-menengah-atas-dalam-kaitannya-de.
Undang-undang
Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. 2000. Jakarta:
Depdiknas.
Wardiqa, R.E. 2017. Upaya Southeast Asian Minister of Education
(SEAMEO) dalam Meningkatkan Mutu Pendidikan di Asia Tenggara pada Era ASEAN
Economic Community. (Online), (http://repository.unej.ac.id/handle/123456789/83261), diakses 04 April 2019.
Widodo, H. 2015. Potret Pendidikan
di Indonesia dan Kesiapannya dalam Menghadapi Masyarakat Ekonomi Asia (MEA). Jurnal Cendekia. (Online), (http://jurnal.iainponorogo.ac.id/index.php/cendekia/article/download/250/220), diakses 04 April 2019.
Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.
BalasHapusSaya telah berpikir bahwa semua perusahaan pinjaman online curang sampai saya bertemu dengan perusahaan pinjaman Suzan yang meminjamkan uang tanpa membayar lebih dulu.
BalasHapusNama saya Amisha, saya ingin menggunakan media ini untuk memperingatkan orang-orang yang mencari pinjaman internet di Asia dan di seluruh dunia untuk berhati-hati, karena mereka menipu dan meminjamkan pinjaman palsu di internet.
Saya ingin membagikan kesaksian saya tentang bagaimana seorang teman membawa saya ke pemberi pinjaman asli, setelah itu saya scammed oleh beberapa kreditor di internet. Saya hampir kehilangan harapan sampai saya bertemu kreditur terpercaya ini bernama perusahaan Suzan investment. Perusahaan suzan meminjamkan pinjaman tanpa jaminan sebesar 600 juta rupiah (Rp600.000.000) dalam waktu kurang dari 48 jam tanpa tekanan.
Saya sangat terkejut dan senang menerima pinjaman saya. Saya berjanji bahwa saya akan berbagi kabar baik sehingga orang bisa mendapatkan pinjaman mudah tanpa stres. Jadi jika Anda memerlukan pinjaman, hubungi mereka melalui email: (Suzaninvestment@gmail.com) Anda tidak akan kecewa mendapatkan pinjaman jika memenuhi persyaratan.
Anda juga bisa menghubungi saya: (Ammisha1213@gmail.com) jika Anda memerlukan bantuan atau informasi lebih lanjut
Terima kasih,mudah-mudahan tambah keberkahan untuk semua pihak,Aamiin
BalasHapus